Sebelum pembicaraan iklim PBB COP26 November 2021 mendatang di Skotlandia, Vanuatu akan secara drastis memperluas diplomasi dan advokasinya untuk membangun koalisi dengan sesama pulau Pasifik dan negara-negara rentan tenggelam lainnya.
Baca Juga: Eropa Terancam Dihantam Badai Super Dahsyat pada 2050, Imbas Perubahan Iklim yang Mematikan
Caleb Pollard, presiden dari Pacific Islands Students Fighting Climate Change, mengatakan tanggapan global sejauh ini adalah kebanyakan solusi plester yang pada kenyataannya hanya mengulur waktu dan gagal memberikan perubahan yang berarti.
"Kita harus mengatasi krisis perubahan iklim dengan secara sistematis menargetkan akar penyebab salah satu ancaman terbesar dan paling dekat yang kita hadapi saat ini," kata Pollard dalam sebuah pernyataan.
Pada April 2021, Topan Tropis Harold menghantam Vanuatu dan menghancurkan resor wisata di negara kepulauan Pasifik Selatan lainnya, Tonga.
Hal tersebut telah memperpanjang jejak kehancuran selama seminggu di empat negara kepulauan tersebut dengan lebih dari dua lusin orang tewas.
Baca Juga: Pandemi Covid-19 dan Perubahan Iklim Landa Dunia, Sekjen PBB: Kita Berada di Tepi Jurang Maut
Pada 2015, sekitar 64 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara pulau itu musnah dalam satu topan, menyebabkan kerugian ekonomi hampir 450 juta dolar atau senilai Rp6.5 triliun.
Pada 2019, Vanuatu mempertimbangkan tindakan hukum terhadap pencemar besar ribuan kilometer jauhnya di tengah efek dari kenaikan suhu laut, siklon intens, dan pola cuaca yang tidak menentu.
Vanuatu dan negara-negara Pasifik Selatan lainnya dipaksa untuk menghabiskan lebih banyak uang, tidak hanya untuk melindungi diri mereka sendiri, tetapi juga untuk menjaga bisnis mereka tetap bertahan karena perubahan iklim.***