PR BEKASI - RUU Cipta Kerja menjadi polemik karena dianggap beberapa pihak tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan kelompok pekerja hingga dampak lingkungan.
Aksi demo dilakukan kepada pemerintah agar RUU Cipta Kerja tidak dilanjutkan karena dianggap tidak berpihak kepada rakyat, terlalu menguntungkan korporasi dan dinilai mengancam kelestarian lingkungan.
Kini RUU Cipta Kerja juga dipermasalahkan terkait otoritas pada jaminan produk halal yang dianggap tumpang tindih antara pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Baca Juga: Tingkatkan Kualitas Udara, Pertamina Ajak Masyarakat Gunakan BBM Berkualitas
Dalam RUU Cipta Kerja pasal 35A Ayat (2) diatur ketentuan, perihal batas waktu dalam penetapan fatwa halal.
Dikatakan apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.
Sedangkan, dalam pasal 33 ayat (3) diatur ketentuan, bahwa: sidang fatwa halal memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH.
Baca Juga: Ahli Virologi Tiongkok Melarikan Diri ke AS dengan Alasan Keselamatan Usai Klaim Kontroversialnya
Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto mengatakan pemerintah seharusnya bertindak sebagai otoritas regulasi dan administratif, sedangkan MUI bertindak sebagai pemegang otoritas fatwa halal.