PR BEKASI – Omnibus Law yang disahkan oleh DPR RI dinilai sangat terburu-buru dan kurang melibatkan partisipasi publik sehingga menuai kontroversi.
Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) ini disahkan pada 5 Oktober 2020 di tengah kondisi Indonesia yang masih berjuang melawan pandemi Covid-19.
Koalisi Bersihkan Indonesia dan Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menelusuri aktor-aktor penting mulai dari Satgas Omnibus Law, Panitia Kerja (Panja), hingga pimpinan DPR RI yang memiliki hubungan dengan bisnis tambang dan energi kotor untuk menemukan jawaban mengenai siapa sesungguhnya yang diuntungkan dari regulasi ini.
Baca Juga: Peneliti Indonesia Gunakan Google AdWords untuk Bantu Mencegah Bunuh Diri
"Omnibus Law UU Cipta Kerja, mulai dari perencanaan hingga pengesahannya dipenuhi konflik kepentingan bisnis tambang, mineral, batu bara, dan energi kotor," tulis FRI dalam Omnibus Law Kitab Hukum Oligarki, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari laporan kajian FRI bersama Koalisi Bersihkan Indonesia, pada Kamis, 22 Oktober 2020.
Beberapa pasal terkait sektor tambang dan energi kotor yang dikaji juga memperlihatkan bahwa Omnibus Law hanya akan menguntungkan segelintir pebisnis besar yang memiliki afiliasi dengan elit politik.
Aktor penting yang terlibat dalam perumusan dan pengesahan Omnibus Law menunjukkan adanya hubungan dengan bisnis tambang dan energi kotor di Indonesia yang mana hubungan ini menunjukkan konflik kepentingan.
Baca Juga: Raja Thailand Malah 'Asyik' dengan 20 Selirnya di Jerman Nikmati Lockdown, Warga Marah Besar
Para penyusun dan pembahas UU ini ditemukan memiliki hubungan bisnis langsung maupun tidak langsung secara pribadi dengan sejumlah perusahaan baik sebagai pemilik, komisaris, hingga direksi, namun di saat yang bersamaan mereka juga adalah pihak yang membahas dan menyusun regulasi UU Cipta Kerja ini.