PR BEKASI - Kiai Haji Raden (KHR) As'ad Syamsul Arifin mungkin terasa asing bagi sebagian orang, tapi ia adalah salah satu tokoh penting dalam Pertempuran 10 November 1945, yang kelak diabadikan menjadi Hari Pahlawan.
Ia adalah seorang Kiai Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Sebelum pertempuran itu meleteus, ia berhasil menyadarkan para bajingan di wilayahnya untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Baca Juga: Besok Habib Rizieq Shihab Tiba di Tanah Air, Pengelola Bandara Soetta Turunkan Ratusan Personel
Berikut kisahnya seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara:
Dikisahkan bahwa setelah pertemuan di PBNU tahun 1945, Kiai As'ad kemudian bergerak ke Madura, yang diawali dari Bangkalan, dilanjutkan ke Sampang dan Pamekasan hingga ke Sumenep.
Di empat kabupaten di Madura itu, Kiai As'ad menemui para ulama dan menyampaikan bahwa Rais Akbar NU menyerukan jihad untuk melawan penjajah. Untuk itu Kiai As'ad meminta ulama di Madura mengumpulkan warga untuk dilatih fisik dan rohani agar memiliki kemampuan berperang.
Baca Juga: Kalah dari Joe Biden, Twitter Cabut ‘Hak Istimewa’ Donald Trump dan Balik Jadi Rakyat Biasa
Pada saat hendak mengumpulkan massa itu, memang dilematis bagi Kiai As'ad sendiri maupun ulama yang ditemui. Kalau memilih kiai atau ulama untuk berperang, siapa yang akan mengurusi pendidikan agama, khususnya di pesantren? Kalau santri, siapa yang akan meneruskan dakwah Islam di masyarakat nantinya, jika banyak santri yang gugur. Kalau wali santri, siapa yang akan membiayai santri dalam menuntut ilmu agama? Maka jawaban-nya tertuju pada bajingan.