Atalarik Syah pun menjelaskan bahwa saat terjadinya eksekusi hak asuh anak, dirinya sedang tidak berada di rumah alias bekerja.
"Saya sudah sampai ke titik pasrah. Sedih dan miris hati saya membayangkan anak-anak saya akan dieksekusi. Selain istilah yang tak lazim, karena lebih tepat diperuntukkan kepada benda daripada manusia. Saya juga tidak mau kehadiran saya membingungkan anak-anak mengambil keputusan," tutur Atalarik Syah.
Menurut Atalarik Syah, tindakan Pengadilan Agama Cibinong dalam melaksanakan eksekusi hak asuh anak, dengan mengerahkan puluhan Polisi dari Polres Cibinong dan PROVOS adalah tindakan yang berlebihan dan memancing kerusuhan.
"Terlebih ketegangan dan keresahan anak-anak saya yang mendapat tindakan eksekusi selama hampir 6 jam, tanpa mempedulikan pengaruh psikologi terhadap anak-anak saya yang berusia 8 tahun dan 5 tahun. Padahal anak-anak sudah berteriak puluhan kali, menolak ikut ibunya," kata Atalarik Syah.
Atalarik Syah juga menilai, tindakan eksekusi anak yang dilakukan Tsania Marwa berserta tim dari Pengadilan Agama Cibinong dan pihak kepolisian telah menurunkan martabat dirinya dan keluarganya.
"Tindakan tersebut bagai tindakan penggerebekan sarang narkoba atau teroris. Para petugas seperti unjuk kekuatan di depan umum dan media," ujar Atalarik Syah.
Tak hanya itu, Atalarik Syah juga menilai tindakan eksekusi hak asuh anak tersebut telah melanggar UU Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak.
"Tindakan Pangadilan Agama Cibinong dalam melaksanakan upaya eksekusi terhadap anak dengan membiarkan kekerasan dilakukan terhadap anak dan mencoba memaksa anak dengan menyuruh anggota kepolisian membantu melakukan penekanan terhadap anak adalah tindakan melawan hukum," tuturnya.