Sunat Bagi Anak Perempuan dalam Islam, Bagaimana Hukumnya?

- 27 Desember 2021, 11:12 WIB
Ilustrasi. Salah satu kewajiban dalam Islam kepada anak laki-laki adalah melaksanakan sunat atau khitan, tetapi bagaimana dengan perempuan?
Ilustrasi. Salah satu kewajiban dalam Islam kepada anak laki-laki adalah melaksanakan sunat atau khitan, tetapi bagaimana dengan perempuan? /Pixabay/ddmitrova

 

 

PR BEKASI - Salah satu kewajiban dalam Islam kepada anak laki-laki adalah melaksanakan sunat atau khitan, tetapi bagaimana dengan perempuan.

Dalam beberapa tradisi, sunat juga diperuntukkan untuk mereka yang memiliki anak perempuan, bagaimana hukumnya dalam Islam?

Mengenai sunat ini telah difatwakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Fatwa No.9A Tahun 2008 terkait Fatwa menolak larangan khitan bagi perempuan.

Bunyi dari fatwa tersebut adalah "Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Dan khitan terhadap perempuan adalah makrumah (kemuliaan). Pelaksanaannya sebagai ibadah yang dianjurkan."

Baca Juga: Dokter Spesialis Bedah Anjurkan Sunat Sejak Bayi, Berikut Manfaatnya

Memang dalam tinjauan fikih terkait masalah ini ada perbedaan pendapat di antara ulama.

Sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Bekasi.com dari MUI pada Senin, 27 Desember 2021, pendapat pertama mengatakan khitan hukumnya sunnah bukan wajib.

Pendapat tersebut menjadi pegangan bagi mazhab Hanafi (Hasyiah Ibnu Abidin: 5479), Mazhab Maliki (Al-Syarh Al-Shaghir: 2151), dan Syafii dalam riwayat yang syaz (lihat Al-Majmu1300).

Dalam pandangan mazhab ini, sunat adalah sunnah dan bukan wajib, yang mana hanya menjadi fithrah dan syiar Islam.

Baca Juga: Manfaat Sunat bagi Kesehatan Pria, Salah Satunya Ampuh Cegah Penularan HIV

Khusus untuk perempuan, mazhab Maliki, mazhab Hanafi dan Hanbali memandang bahwa hukumnya sunnah.

Dalil yang digunakan adalah hadits Ibnu Abbas marfu` kepada Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi:

“Khitan itu sunnah buat laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan.”

Sementara itu pendapat kedua menyatakan sunat adalah kewajiban bukan sunnah, dan didukung oleh mazhab Syafii (lihat al-Majmu 1284/285; al-Muntaqa 7232), Mazhab Hanbali (lihat Kasysyaf Al-Qanna 180, dan al-Inshaaf 1123).

Baca Juga: Hakim yang Sunat Vonis DjokTjan-Pinangki Tolak Banding HRS, Hilmi Firdausi: Sampai Jumpa di Pengadilan Akhirat

Menurut pandangan mazhab ini, sunat merupakan wajib hukumnya baik untuk perempuan atau laki-laki, dan dalil yang digunakan adalah dalam Alquran Surat An-Nahl ayat 123.

"Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus."

Serta hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari dan muslim:

”Nabi Ibrahim as berkhitan saat berusia 80 dengan kapak”, yang diartikan umat diperintahkan mengikuti millah Nabi Ibrahim karena bagian dari syariat.

Baca Juga: Pengurus RW di Depok Sunat Dana Bansos Sebesar Rp50 Ribu, Alasan untuk Operasional Ambulans

Juga hadis yang diriwayatkan oleh Ibn al-Qaffall sebagai berikut:

"Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah."

Sedangkan pendapat ketiga mengatakan khitan wajib bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan, dipegang oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan tapi tidak wajib. ( Al-Mughni 185).

Di antara dalil mengenai sunat bagi perempuan ini, meski hadis yang diriwayatkan tidak sampai derajat sahih Rasulullah pernah menyuruh kepada Ummu ‘Athiyyah, seorang perempuan yang berprofesi sebagai pengkhitan anak perempuan.

Baca Juga: Dinilai Berbahaya dan Melanggar Hak, Pemerintah Akan Hapus Perkawinan Anak dan Sunat Perempuan

“Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami."

Karena itu sunat bagi perempuan dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai pangkalnya, karena hanya kepada sifat pemuliaan semata, tidak seperti laki-laki yang memiliki alasan untuk sunat.

Akan tetapi perlu diingat bahwa sunat bagi perempuan ini dilaksanakan hanya ketika mereka masih kecil dan harus memperhatikan caranya dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.

Selain itu, tidak boleh berlebihan seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.***

Editor: Rinrin Rindawati

Sumber: MUI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah