Depopulasi Menggerus Jepang, Ratusan Sekolah Ditutup Setiap Tahun Gegara Tak Ada Murid

- 3 April 2023, 19:58 WIB
Eita Sato dan Aoi Hoshi, dua murid terakhir yang menjadi kelulusan di Yumoto, Jepang mengalami depopulasi parah.
Eita Sato dan Aoi Hoshi, dua murid terakhir yang menjadi kelulusan di Yumoto, Jepang mengalami depopulasi parah. /ISSEI KATO/REUTERS

PATRIOT BEKASI - Kaki Eita Sato dan Aoi Hoshi berjalan menuju upacara kelulusan sekolah menengah pertama mereka, langkah yang mereka ambil menyisakan gema di aula, yang dulunya pernah ramai dan berisik dengan para siswa.

Mereka berdua merupakan satu-satunya lulusan SMP Yumoto di bagian pegunungan Jepang utara, dan siswa yang terakhir menjalani upacara kelulusan.

Sekolah yang telah berdiri selama 76 tahun tersebut terpaksa ditutup untuk selamanya setelah tahun ajaran berakhir pada Jumat, 31 Maret 2023.

"Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut," kata Eita yang berusia 15 tahun seperti Aoi.

Baca Juga: Sempat Kabur saat Dibekuk, Tentara Gadungan di Bekasi Berhasil Diamankan

Bukan tanpa alasan, angka kelahiran di Jepang anjlok lebih cepat dari yang diduga, kini pemandangan sekolah yang ditutup banyak terjadi di daerah pedesaan, terutama di wilayah Ten-ei, area ski pegunungan dan mata air panas di Prefektur Fukushima.

Fenomena ini tentunya memberikan rasa kekecewaan lebih bagi daerah yang selama ini berjuang dengan depopulasi.

Menurunnya angka kelahiran menjadi masalah regional Asia, mengingat besarnya biasa perawatan anak mengurangi angka kelahiran di Korea Selatan dan China, tetapi situasi kritis dialami Jepang.

Perdana Menteri Fumio Kishida sendiri telah menyatakan janjinya akan melakukan berbagai langkah yang sebelumnya belum pernah terjadi demi meningkatkan angka kelahiran.

Salah satunya dengan menggandakan anggaran terkait kebijakan anak, serta menyebut perihal pentingnya menjaga lingkungan pendidikan.

Akan tetapi, sejauh ini masih sedikit dari langkah tersebut yang mengatasi masalah.

Pada 2022 saja angka kelahiran anjlok menjadi di bawah 800,000, menjadi rekor terendah baru bagi negeri matahari terbit tersebut.

Baca Juga: Kasus Pembunuhan Gangnam Ternyata Berkaitan dengan Pencurian Kripto

Menurut prakiraan pemerintah, angka tersebut merupakan delapan tahun lebih awal dari yang diharapkan. Menjadi pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil, dan seringkali menjadi jantung kota dan pedesaan.

Dari data pemerintah, ada 450 sekolah yang tutup setiap tahunnya, antara tahun 2022 hingga 2020, hampir 9,000 sekolah menutup pintu selamanya.

“Saya khawatir orang-orang tidak akan menganggap daerah ini sebagai tempat pindah untuk memulai sebuah keluarga jika tidak ada sekolah menengah pertama,” kata Masumi, ibu Eita, juga lulusan Yumoto.

Ten-ei, sebuah desa berpenduduk kurang dari 5.000 dengan hanya sekitar 10 persen di bawah usia 18 tahun, berada di daerah pedesaan yang tenang yang dikenal dengan beras dan sakenya.

Area Yumoto memiliki penginapan mata air panas di pegunungan dan dipenuhi dengan toko persewaan alat ski dan tempat perkemahan. Ada juga tanda "waspadalah terhadap beruang".

Pada masa puncaknya, desa ini memiliki lebih dari 10,000 penduduk pada 1050 lalu, didukung dengan pertanian dan manufaktur yang mumpuni.

Namun, rasa tidak nyaman dan daerah yang terpencil membuat penduduk terdorong untuk pergi meninggalkan kampung halaman.

Baca Juga: Sukses Rilis Album Pertama, Jisoo BLACKPINK Sampaikan Ini: Saya Sangat Menantikannya

Depopulasi bertambah cepat setelah bencana 11 Maret 2011 di pembangkit nuklir Fukushima Daiichi yang berjarak kurang dari 100 km dengan Ten-ei, meskipun radioaktif telah dibersihkan.

Sekolah Yumoto memiliki dua lantai dan terletak di pusat distrik, selama masa jaya pada 1960 ada 50 lulusan setiap tahunnya.

Berbagai foto kelulusan siswa pun digantung di dekat pintu masuk, menampilkan perubahan dari zaman ke zaman mulai foto hitam putih hingg berwarna, dan murid tiba-tiba menurun pada 2000an.

Tidak ada potret kelulusan pada tahun lalu. Eita dan Aoi, awalnya bersama dengan lima anak lainnya dari sekolah dasar, tetapi yang tersisa hanya dua orang.

Eita mengatakan meja mereka berdampingan di tengah ruang kelas yang dirancang untuk 20 anak, dan awalnya mereka kerap bertengkar.

Namun, ketegangan mereda dan mereka beradaptasi, mencoba mensimulasikan pengalaman sekolah normal

Menjalani kegiatan klub bersama sepulang sekolah, mereka memilih ikut olahraga tenis meja sebagai pasangan.

Pada hari kelulusan, para guru menyematkan korsase pada lulusan yang berbahagia, biasanya penyematan dilakukan oleh murid yang lebih muda.

"Masyarakat sangat kecewa karena tidak ada lagi sumber budaya," kata kepala sekolah Mikio Watanabe tentang keputusan penutupan, setelah berkonsultasi dengan warga desa. "Tempat itu akan lebih tenang tanpa suara anak-anak."

Para ahli pun memberikan peringatan kalau ditutupnya sekolah di pedesaan akan memperlebar kesenjangan nasional, serta tekanan yang lebih besar bagi daerah terpencil.

"Penutupan sekolah berarti kotamadya pada akhirnya akan menjadi tidak berkelanjutan," kata Touko Shirakawa, dosen sosiologi di Universitas Wanita Sagami.

Ten-ei akan membahas penggunaan kembali gedung sekolah. Di bagian lain Jepang, sekolah yang ditutup telah menjadi kilang anggur atau museum seni.

Aoi memiliki cita-cita untuk menjadi guru taman kanak-kanak di kampung halamannya, mulai April dia akan bersekolah di tempat yang berbeda dengan Eita.

"Saya tidak tahu apakah akan ada anak-anak di desa saat saya menjadi guru," kata Aoi. "Tapi jika ada, saya ingin kembali."***

Editor: M Hafni Ali

Sumber: Japan Today


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah