Green Peace: RUU Omnibus Law Abaikan Dampak Kerusakan Lingkungan Hidup

- 20 Februari 2020, 17:05 WIB
SEJUMLAH buruh mengikuti aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law di Depan Istana Merdeka, Jakarta, belum lama ini. * ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/pd.
SEJUMLAH buruh mengikuti aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law di Depan Istana Merdeka, Jakarta, belum lama ini. * ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/pd. /ASPRILLA DWI ADHA/ANTARA FOTO

PIKIRAN RAKYAT - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai bagian dari Omnibus Law yang diajukan pemerintah telah diserahkan kepada DPR. Perumusan RUU yang dibahas secara tertutup selama ini semakin ramai dibicarakan dan ditakutkan menjadi ancaman besar.

Dikutip oleh pikiranrakyat-bekasi.com dari situs resmi Green Peace ancaman itu bukan hanya bagi hak-hak kaum pekerja dan masa depan perlindungan lingkungan di Indonesia. Alih alih menciptakan lapangan kerja, tampaknya RUU ini malah akan menciptakan lebih banyak masalah lingkungan ke depan.

Komunitas peduli lingkungan itu menilai bahwa materi dan arah Omnibus Law akan memperparah tata kelola sistem yang ada di Indonesia.

Baca Juga: Larang Pernikahan Dini, Ma’ruf Amin: Pernikahan itu Harus Siap Segala-galanya

Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya upaya penyederhanaan regulasi yang justru berujung pada pelemahan perlindungan lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin, Omnibus Law yang digencarkan pemerintah saat ini akan berpotensi menjadi jalan bebas hambatan bagi maraknya korupsi di bidang pengelolaan sumber daya alam, sehingga praktik perusakan lingkungan hidup akhirnya sangat sulit dicegah dan menjadi semakin tidak terkendali.

Rencana penghapusan pasal yang mengandung prinsip tanggung jawab mutlak atau strict liability dalam RUU Cipta Kerja, menurutnya justru akan mempersulit penegak hukum dalam menjerat korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Baca Juga: Virus Corona Takuti Turis, Bali Terkena Dampaknya

“Pemerintah masih gagal menangani akar masalah karhutla dimana korporasi yang telah terbukti bersalah saja belum semuanya patuh membayar denda putusan pengadilan, jadi wajar jika masyarakat meragukan keseriusan Jokowi terlebih jika aturannya malah dikebiri,” ungkap Asep.

Green Peace Indonesia menyesalkan RUU Cipta Kerja yang telah mengkerdilkan peran analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) serta penghapusan Izin Lingkungan.

Hal ini menurutnya beresiko mengabaikan dampak kerusakan lingkungan hidup yang tidak bisa diprediksi, dipantau dan ditanggulangi.

Baca Juga: UNAIDS Sebut Pasien HIV di Tiongkok Berisiko Kehabisan Obat AIDS Akibat Virus Corona

“Masyarakat harus tetap terlibat dalam pengambilan keputusan sebab jika terjadi kerusakan lingkungan mereka yang pertama terkena dampaknya, selain itu hilangnya Izin lingkungan akan menghilangkan hak masyarakat dalam mengajukan keberatan dan upaya hukum yang selama ini menjadi alat kontrol keputusan-keputusan yang berkaitan dengan lingkungan,” tambahnya.

Selain itu, menurut Juru Kampanya Iklim dan Energi, Satrio Swandiko, industri batu bara yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan akan mendapatkan perpanjangan izin sampai seumur tambang, yang artinya menurut Asep, mereka bisa mengeruk batu bara tersebut sampai habis.

“Kepentingan industri batu bara sudah jelas banyak bermain dan diakomodir pemerintah dalam pembentukan rancangan undang-undang ini”, ungkap Satrio.

Baca Juga: Jumlah Penyebaran Virus Corona Meningkat, KBRI Seoul Imbau WNI Tingkatkan Kewaspadaan dan Perhatikan Kesehatan

RUU Cipta Kerja juga akan membebaskan keharusan membayarkan royalti untuk industri batu bara yang melakukan peningkatan nilai tambah, bisa berupa proses gasifikasi dan batu bara cair yang digadang-gadang oleh beberapa pihak masuk dalam definisi Energi Baru dalam kerangka Energi Baru Terbarukan yang saat ini oleh Pemerintah dijadikan sebagai salah satu cara menurunkan emisi karbon di sektor energi.

Atas keputusan pemerintah tersebut, Greenpeace Indonesia menilai hal ini akan menjadi kebohongan besar komitmen perubahan iklim pemerintahan Jokowi, apabila target EBT 23 persen memasukkan batu bara di dalamnya. Batu bara bukanlah produk ramah lingkungan dengan emisi karbon rendah.

“Batu bara telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dari hulu ke hilir. Ironis sekali, Omnibus Law justru mendorong hilirisasi batubara dengan memberi semua keistimewaan yang tidak oleh energi terbarukan yang sudah jelas bersih”, kata Satrio.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: Green Peace


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah