Jokowi Libatkan TNI dalam Pemberantasan Teroris, Sosiolog Khawatirkan Kondisi Pertahanan Indonesia

- 1 November 2020, 13:31 WIB
Ilustrasi TNI.
Ilustrasi TNI. /TNI

PR BEKASI - Dalam Peraturan Presiden (Perpres) terbaru meminta Tentara Nasional Indonesia (TNI) ikut andil dalam pemberantasan terorisme di tanah air.

Rencana tersebut pun mendapat tanggapan dari Sosiolog Universitas Udayana Bali, Wahyu Budi Nugroho.

Dikutip oleh Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara pada Minggu, 1 November 2020, ia beranggapan bahwa dikhawatirkan akan mengurangi fungsi pertahanan TNI  dan membuatnya kembali ke ranah sipil.

Baca Juga: Tayangan “GhostBusTour Jurnal Risa” Bermasalah, Satufest Production Beri Klarifikasi

"Dalam hal ini, terdapat doktrin yang berbeda antara kepolisian dengan TNI, kepolisian dengan doktrin keamanan, sedangkan TNI doktrin pertahanan," kata Wahyu saat mengisi webinar yang diselenggarakan oleh MARAPI dan FISIP Universitas Udayana.

"Perbedaaan doktrin ini tentu menyebabkan perbedaan di ranah praksis atau aksi. Polisi dengan doktrin keamanan cenderung berorientasi untuk melumpuhkan, sedangkan TNI dengan doktrin pertahanan cenderung berorientasi untuk 'membunuh' dan 'menghancurkan'," kata Wahyu, menambahkan.

Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa keberadaan dari doktrin pertahanan inilah yang dikhawatirkan banyak pihak dapat menimbulkan persoalan HAM.

Menurutnya, situasi ini kemudian seolah pelaku teror bukan untuk diadili dan dihukum, tetapi untuk ditembak mati di tempat.

Baca Juga: Argumennya Terus Tuai Respons dari Masyarakat, Abdul Hamid: Megawati Gagal Pahami Peran Milenial

Wahyu mengungkapkan bahwa ada beberapa catatan untuk tetap mengedepankan kepolisian dalam pemberantasan terorisme. Catatan tersebut yakni sebagai berikut.

Pertama, setelah revisi UU Terorisme (2018) polisi sudah bisa bertindak sebelum kejadian (teror). Namun, sebelumnya (sebelum revisi UU Terorisme) baru bisa bertindak setelah ada kejadian.

"Itulah mengapa, dalam beberapa tahun terakhir ini banyak terjadi penangkapan anggota berbagai jaringan teroris di Indonesia. Yang artinya kita sudah menerapkan offensive counterterrorist operations, bukan lagi sekadar defensive security," kata Wahyu.

Selanjutnya, menurut Wahyu, pertimbangan lainnya yaitu setelah dibentuknya Densus 88 angka teror di tanah air cenderung menurun.

Baca Juga: Kasus Penganiayaan Anggota TNI oleh Pengendara Moge, Tersangka Bertambah Jadi Empat Orang

Wahyu menjelaskan, selain khawatir akan mengurangi fungsi pertahanan TNI, kaitannya pada era Orde Lama dan Orde Baru, yang mana pendekatan militer memang lebih diutamakan.

Menurutnya, hal ini didasari karena beberapa alasan yaitu di era Orde Lama dan Orde Baru isu HAM belum menjadi prioritas.

Kemudian di era Orde Lama, lanjutnya, aksi terorisme yang terjadi berbentuk gerakan pemberontakan yang sifatnya masif dan hanya bisa diatasi oleh tentara karena kepolisian belum mampu mengatasinya.

Ia mengungkapkan salah satu contohnya, pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.

Baca Juga: Kemarin, Jumlah Pasien Sembuh Covid-19 di DKI Jakarta Capai Rekor Tertinggi

"Dalam masyarakat demokratis, atau dalam masyarakat sedang mengalami proses demokratisasi, dan sudah memiliki kepolisian yang kuat, ada pendekatan yang digunakan untuk melawan terorisme yaitu criminal justice model. Artinya di Indonesia saat ini, terorisme (perlu) ditempatkan sebagai persoalan penegakan hukum yang ditangani kepolisian, bukan persoalan pemberontakan yang ditangani TNI," kata Wahyu.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah