Cek Fakta: Polisi Dikabarkan Tembak Mahasiswa dengan Senjata Api Saat Demo Tolak UU Cipta Kerja

17 Oktober 2020, 19:39 WIB
Mahasiswa tertembak saat aksi unjuk rasa di Baubau adalah hoaks. /RRI

PR BEKASI – Dikabarkan seorang mahasiswa tertembak saat melakukan unjuk rasa penolakan atas pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) di kantor DPRD Baubau, Sulawesi Tenggara pada Jumat, 9 Oktober 2020 pekan lalu.

Pada berita yang beredar mengatakan bahwa sang mahasiswa tertembak senjata api atau peluru karet milik aparat kepolisian di lengan sebelah kirinya.

Namun, Kapolres Baubau, AKBP Zainal Rio Candra Tangkari menepis berita penembakan tersebut, ia menyatakan bahwa itu adalah berita tidak benar atau hoaks.

Baca Juga: Irjen Napoleon akan Bongkar Kasus DjokTjan, DPR: Harus Dibuka Semuanya, Agar Terang Benderang

“Dugaan bahwa luka tersebut adalah bekas luka tembak atau peluru karet, sama sekali tidak benar. Tidak benar,” tegas Zainal, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari RRI pada Sabtu, 17 Oktober 2020.

Menurut hasil penyelidikan pihak kepolisian, tidak ditemukan satupun bukti yang menguatkan adanya dugaan penembakan senjata api maupun peluru karet yang dilakukan polisi dalam unjuk rasa tersebut.

Dalam keterangannya, Rio memperlihatkan sejumlah foto kepada media tentang pemeriksaan senjata yang dipegang personel anggota polisi sebelum melakukan pengamanan unjuk rasa mahasiswa di Kantor DPRD Baubau.

"Sudah dilakukan pengecekan (senjata), tidak ada satupun (personel) yang membawa senjata api,” ujarnya.

Baca Juga: Gema Penolakan UU Cipta Kerja Masih Terasa, Moeldoko Singgung Pemahaman Sejumlah Tokoh

Selain itu, Rio juga memperlihatkan baju jas almamater yang dikenakan mahasiswa yang tidak tersobek pada lengan kiri baju tersebut. Keterangan Kapolres tersebut juga dikuatkan dengan pernyataan dari dokter UGD RSUD Palagimata, dr Kenangan, yang turut hadir dalam konferensi pers.

Dr.Kenangan mengatakan luka akibat peluru itu ada dua jenis yaitu luka tembus dan luka tidak tembus. 

Menurutnya, bila ada luka tidak tembus dan ada perlukaan, biasanya ditemukan ada anak peluru atau serpihan peluru.

“Pada saat kami melaksanakan identifikasi luka itu, tidak ditemukan adanya benda asing dalam luka tersebut. Jadi deskripsi luka yang kami temukan bahwa kekerasan ini akibat kekerasan tumpul bisa akibat oleh kayu, batu, atau besi,” ujar Kenangan.

Baca Juga: Rekomendasi Warna Cat Terbaik untuk Rumah Minimalis

Dalam konferensi pers tersebut turut hadir, seorang perawat, Lia, yang menangani luka mahasiswa tersebut. Lia menjelaskan, ketika mahasiswa datang berobat ia bertanya penyebab luka yang dialami seorang mahasiswa di lengan kiri atas. 

“Dia (mahasiswa) itu berkata itu (luka akibat) terkena peluru karet. Terus teman saya mengatakan ‘coba periksa dulu jangan sampai ada sisa-sisa peluru karet di lukanya’. Saya periksa juga di lukanya itu tidak ada sisa-sisa dari peluru karet,” ucap Lia.

Sebelumnya, LBH Pospera Meminta agar Polres Baubau segera menindaklanjuti laporan terkait dugaan Penganiayaan dengan Senjata Api terhadap salah seorang massa aksi bernama Nur Sya’ban Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Unidayan pada tanggal 9 Oktober 2020 Lalu.

Sebagai Tim Kuasa Hukum Korban, telah resmi memasukkan Laporan di Mapolres Kota Baubau dengan Laporan Polisi Nomor : LP/413/X/RES.7.4/2020/RES.BAU-BAU tanggal 14 Oktober 2020.

Baca Juga: Terpidana Mati Kasus Narkoba Cai Changpan Ditemukan Meninggal Dunia di Hutan Jasinga

Direktur LBH Pospera Baubau, Agung Widodo, mengatakan insiden kejadian penembakan terhadap salah seorang massa aksi terjadi dalam kegiatan aksi demonstrasi menuntut penolakan Undang-undang Omibus Law Cipta Kerja di kantor DPRD. 

“Senjata api seharusnya digunakan untuk keadaan genting. Senjata api tidak boleh digunakan kecuali mutlak diperlukan dan tak bisa dihindari lagi demi melindungi nyawa seseorang. Penggunaan senjata Api dalam aksi demontrasi itu sudah di luar proporsi dan pelanggaran HAM berat,” kata Agung.

Ia menyatakan, polisi harus melakukan investigasi secara menyeluruh, efektif, dan independen dan mengusut tuntas kasusnya.

“Proses hukum juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, jangan ada yang ditutup-tutupi dan direkayasa. Keluarga korban dan aktivis berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai ada impunitas hukum seperti yang selama ini terjadi,” tambahnya.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler