Ketika dr. Tirta Bercerita, Mengaku Alami Tragedi Mei 98 di Solo hingga Pernah Jadi Atheis

- 15 Oktober 2020, 19:40 WIB
Dr. Tirta bagikan secuplik kisah hidupnya dalam acara Saatnya Perempuan Bicara.
Dr. Tirta bagikan secuplik kisah hidupnya dalam acara Saatnya Perempuan Bicara. //Instagram dr.tirta

PR BEKASI - Dokter sekaligus pengusaha kondang di Indonesia, Tirta Mandira Hudhi membagikan secuplik kisah hidupnya dalam acara 'Saatnya Perempuan Bicara' di kanal YouTube Talk Show tvOne.

Dr.Tirta menjelaskan bagaimana dirinya bisa menjadi relawan Covid-19 yang sangat aktif di tanah air.

"Jadi itu ceritanya dari dulu kan emang edukasi di puskesmas ya, kita edukasi terus sampai akhirnya di Jakarta, di situlah aku menggunakan powerku sebagai influencer untuk bersuara, dan aku kalo kritik emang keras, ngata-ngatain langsung," ucapnya.

Baca Juga: Upaya Cegah Berita Hoaks, Facebook Larang Iklan Anti Vaksin COVID-19

Dirinya pun mengungkapkan kisah dukanya saat menjadi relawan Covid-19 selama ini.

"Akhirnya, karena tugas di Covid ini aku jadi relawan, sempet aku diludahi berapa kali, karena mereka ga mau kalo edukasi 3M, maunya makan, di beberapa kota, orang suka ngomong, 'aku gak butuh ceramahmu mas' aku butuhnya makan," ucapnya.

"Di lapangan memang udah biasa kayak gitu, belum di medsos diserang, dulu nakes dipuja-puja, sekarang dibilang konspirasi," ucapnya menambahkan.

Baca Juga: Pengajian dan Malam Bainai Sudah, Nikita Willy Akan Gelar Pernikahan dengan Indra Priawan Besok

Dr. Tirta menjelaskan dirinya bisa sesemangat ini dengan tidur hanya 3 jam sehari, karena dirinya bersyukur bisa mendapat privileges lebih dari orang.

"Jadi gini kita itu kan hidup cuman sekali, pada waktu aku ngerasa, aku bisa punya toko hampir 60-an, punya bisnis, pegawai banyak, gak pernah hutang, dan aset udah banyak. Jadi aku ngerasa mungkin aku mendapat privileges lebih dari orang, aku selalu berpandangan seperti itu," ucapnya.

"Aku ngakuin kok bisa buat usaha karena aku tidak start from zero, aku punya privileges berupa pendidikan dan circle keuangan, karena bapak ibuku pegawai bank, jadi aku paham di situ tentang finance, jadi aku harus ngerangkul orang-orang yang berkebutuhan," ucapnya menambahkan.

Baca Juga: Gatot CS Tak Boleh Temui Aktivis KAMI yang Ditahan, Argo: Namanya Orang Mau Nengok, Ada Jadwalnya

Dr. Tirta juga mengakui semangatnya datang dari fakta bahwa semasa muda, dirinya banyak melakukan kesalahan.

"Kedua, memang aku banyak melakukan kesalahan, jadi nikah saat muda terus aku dipaksa bekerja juga di usia yang sangat muda, terus aku ingin menebus itu dengan mengajarkan kepada anak muda, lu jangan sampai kayak gua nih," ucapnya.

"Aku nikah muda tuh usia 22 Tahun, karena jujur arogan banget aku ngerasa punya duit dan udah aman. Ternyata aku menghancurkan salah satu nama baik orang," ucapnya menambahkan.

Baca Juga: Kunjungan Prabowo ke AS, Guru Besar UI: AS Ingin Indonesia Tidak Jatuh dalam Perangkap Tiongkok

Dirinya pun menjelaskan kisahnya semasa kecil yang cukup mengkhawatirkan.

"Aku lahir dalam kondisi yang jujur gak enak ya, bapakku adalah seorang petani dia jawa dan muslim. Ibuku keturunan chinese, dia lulusan pertanian tapi karena gak ada duit, jadi karyawan bank juga tapi non-muslim, mereka nikah dan aku lahir sebagai anak tunggal, gak ada duit juga jadi anaknya cuman satu doang," ucapnya.

Dr. Tirta juga mengatakan bahwa dirinya mengalami tragedi Mei 98 di Solo.

Baca Juga: Tanggapi Fenomena Kelompok LGBT di Kalangan TNI, TB Hasanuddin: Sejak Dulu Isu Itu Sudah Ada

"Aku ngerasain tragedi Mei 98 di Solo, pada waktu itu nyokap loncat dari lantai dua bank, pilihannya cuman dua mati dibakar atau loncat," tuturnya.

"Dari situ aku tahu tentang rasialisme, SARA, agama dan aku memutuskan untuk atheis dari SD sampai SMA," ucapnya menambahkan.

Kehidupannya pun berangsur membaik saat dr.Tirta memasuki Universitas Gadjah Mada (UGM), di sana dirinya menemukan berbagai macam perbedaan.

Baca Juga: Alami Infeksi Jaringan Tulang Lunak, Pria Ini Miliki 'Hidung Baru' di Dahi Usai Operasi

"Lalu ketika aku masuk UGM aku ketemu dengan berbagai macam-macam karakter, kalau kita di kampus tuh kan banyak ya kawan ada dari suku mana, suku apa, dari situ kita terbuka, dan aku memutuskan untuk mualaf di usia 23 tahun," ucapnya.

Dari pengalamannya itulah dr.Tirta akhirnya bisa terbuka kepada siapapun, dan apapun latar belakang orang tersebut.

"Jadi bisa menghargai agama lain, sekarang kalo ada orang beribadah apapun agama nya, aku tidak langsung close minded ya, dari situ aku menghargai," ucapnya.***

Editor: Puji Fauziah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x