Anggap Covid-19 Hanya Konspirasi, Muhammadiyah: Pertanda Masalah Kesehatan Mental

17 Juli 2021, 13:27 WIB
Muhammadiyah mengingatkan kepada masyarakat yang mempercayai konspirasi atau hoaks covid-19 sebagai masalah kesehatan mental. /Pixabay/DrSTClaire/Pixabay

PR BEKASI - Bagi sebagian orang, menganggap pandemi Covid-19 ini masih bagian dari konspirasi global.

Entah tak terhitung lagi jumlah konspirasi tentang Covid-19 ini yang berkembang, namun hal tersebut sangat berpengaruh dalam pemikiran seseorang.

Akibatnya, mereka menciptakan atau mempercayai keyakinan bahwa ada penyebab dari suatu peristiwa besar. Namun kesehatan mental Anda lah yang perlu diperhatikan jika mempercayai hal ini.

Baca Juga: Sudah Pasrah dan Merasa Ajal Dekat Saat di Ruang ICU karena Covid-19, Fahmi Aditian: Aku Sempat Halu 

Berbagai pertanyaan pun hadir di benak mereka yang percaya konspirasi. Seperti seluruh kejadian di dunia ini dikendalikan oleh beberapa orang saja?

Apakah Pandemi Covid-19 tidak nyata dan hanya pembentukan wacana semata?

Apakah vaksinasi adalah program tersembunyi membinasakan umat manusia?

Tak dipungkiri, pertanyaan dengan tema-tema seperti di atas nampaknya adalah ‘normal’. Beberapa kalangan bahkan bukan hanya bertanya, tapi meyakini secara apriori atau seutuhnya  bahwa memang demikianlah yang sebenarnya terjadi.

Di masa sulit apa pun baik peperangan atau pandemi seperti sekarang, pemikiran konspirasi justru tumbuh subur.

Baca Juga: Viral Dua Pria Nekat Hirup Napas Pasien Positif Covid-19, Suryo Prabowo: Bodohnya Tingkat Dewa 

Para peneliti seperti Abalakina-Paap, Stephan, Craig, & Gregory (1999) hingga Grzesiak-Feldman (2013) jauh-jauh hari telah menyatakan bahwa orang akan mendukung pemikiran konspirasi ketika mereka diliputi kecemasan, kondisi serba tidak pasti dan rasa tidak berdaya.

Pada masa normal, pemikiran konspirasi tidak berdampak apapun selain wacana tandingan yang ganjil dan sebenarnya ‘sah-sah saja’. Narasi bumi datar oleh pendakwah Rahmat Baequni tidak mendapat spotlight dan efek yang besar selain perdebatan konsistensi hukum logika.

Dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari situs Muhammadiyah, pada masa krisis, satu pemikiran konspirasi mampu membawa satu bentuk destruksi massal di tingkat sosial.

Baca Juga: Lakukan Pengobatan Tradisional dengan Hirup Napas Pasien Covid-19, Pria Ini Malah Meninggal 

Destruksi para penganut konspirasi ibarat orang yang rumahnya terbakar tapi lebih mendahulukan mencari alasan yang layak mengapa rumahnya terbakar daripada memadamkan api dan menyelamatkan orang-orang di dalamnya terlebih dahulu.

Belakangan, kita mengenal nama-nama pesohor media sosial yang membantah dampak berbahaya Covid-19 nyata. Dengan kata lain, mereka menganggap sedikitnya 4,3 juta jiwa manusia yang meninggal karena pandemi adalah hasil persekongkolan jahat seluruh tenaga medis dan rumah sakit di dunia untuk “mengcovidkan” status kesehatan seseorang.

Pernyataan mereka memperburuk penanganan Covid di Indonesia yang memang sudah tidak ideal sejak awal.

Peneliti seperti Prooijen dan Douglas (2018) bahkan menyimpulkan bahwa teori konspirasi seringkali memiliki dampak nyata pada kesehatan, hubungan sosial, dan keselamatan orang lain.

Baca Juga: Media Asing Sebut Indonesia sebagai Episentrum Covid-19 Baru 

Paham skeptisisme yang lebih cenderung ke paranoid seperti nalar konspirasi nyatanya bukan masalah negara berkembang saja. Negara maju seperti Belanda, Inggris, dan Amerika memiliki jumlah penganut konspirasi yang tidak sedikit.

Pada konteks pandemi Covid-19, beberapa di antara mereka bahkan sempat menghancurkan menara 5G karena dianggap menyebarkan virus Corona.

Atas alasan itu, Jurnal medis internasional bergengsi The Lancet (2020) merilis hasil penelitian bahwa Covid-19 berasal dari patogen satwa liar.

The Lancet, di sisi lain berusaha mengikis prasangka liar bahwa Covid-19 adalah hasil rekayasa biologis laboratorium China untuk menyerang Amerika dan dunia.

Baca Juga: Netizen Cerita Soal Ayahnya yang Hampir Mati Akibat Percaya Hoaks Covid-19 dr Samuel: Maaf Saja Tidak Cukup 

Percaya Konspirasi Pertanda Tak Siap Terima Kenyataan

Van Prooijen & Jostmann (2013) menyatakan bahwa kepercayaan konspirasi lebih kuat ketika orang mengalami kesusahan sebagai akibat dari perasaan tidak pasti.

Michael A Peters (2020) bahkan menegaskan bahwa dukungan terhadap nalar konspirasi akan subur ketika situasi pemerintahan bersifat korup, otoriter, dan tidak transparan. Tak lupa, kelompok dengan status, pendidikan, dan ekonomi rendah juga dianggap lebih mudah terhasut oleh nalar konspirasi.

Fakta-fakta inilah yang kemudian tidak dipisahkan dalam memandang penyebab suburnya penganut teori konspirasi.

Mengapa Pemikiran Pengagung Konspirasi Layak Diabaikan?

Setidaknya, ada tiga alasan utama mengapa kita perlu mendiamkan ajakan berdebat para pengagung teori konspirasi.

Baca Juga: Angga Sasongko Ancam Putus Kontrak Pihak yang Percaya Konspirasi Covid-19

1. Cara mereka berpikir

Pertama, soal cara berpikir (nalar). Hampir seperti pemikiran mistik, nalar konspirasi termasuk dalam cara berpikir prediktif, yakni menerka sesuatu yang sedang dan akan terjadi di luar fakta empiris yang tersedia.

Meskipun nalar konspiratif menihilkan peran magis dan lebih pada menyambung benang-benang terpisah dari berbagai kejadian, nalar konspiratif telah memastikan hal yang belum diketahui dan belum tentu terjadi (bersifat potential, possibility) sebagai suatu hal yang sebenar-benarnya terjadi atau nyata-ada (fact or exist).

Dalam pengertian itu, nalar konspirasi lebih mirip kepada suatu keyakinan (iman) daripada ilmu. Karenanya diskusi se-ilmiah apapun tidak akan berfungsi sebab mereka mengunci pintu bagi kemungkinan kebenaran lain sedari awal.

Sebagaimana konsep iman, hanya pengalaman eksistensial saja yang mampu membatalkan dan mengubah keyakinan mereka.

Baca Juga: Ayahnya Meninggal usai Positif Covid-19 Tapi Telat Ditangani, Komedian Ini Kritik Penyebar Paham Konspirasi

2. Cara perolehan-pengolahan informasi (akses-proses data)

Kedua, soal cara perolehan-pengolahan informasi (akses-proses data). Penganut nalar konspirasi dikenal sering menyangkal semua informasi umum terkait data-data sains (data terbuka) yang lazim kita temui.

Dengan meyakini data mereka sebagai kebenaran tunggal, mereka lupa bahwa kesimpulan sains bersifat dinamis, yakni kebenaran lama otomatis batal dengan ditemukannya kebenaran baru.

Di sinilah kerumitannya. Penganut nalar konspirasi selalu mengajak berdebat, namun meyakini bahwa data tandingan dari lawan mereka adalah data rekayasa.

Jika data dari lawan secara masuk akal membantah teori konspirasi, mereka meyakini bahwa hal itu sudah direncanakan. Semua elemen lain seperti saksi ataupun bukti yang tidak menguntungkan juga diyakini adalah hasil sekongkol dan suap.

Baca Juga: Masih Ada yang Percaya Covid-19 Konspirasi, Zubairi Djoerban Merasa Kasihan, Sindir Siapa?

Uniknya, jika data yang dibawa oleh lawan mereka dianggap bersesuaian dengan teori konspirasi, maka mereka menerima dan menggunakannya untuk menguatkan teori mereka.

Disisi lain, mereka meyakini bahwa semua ilmuwan di dunia terhimpun dalam satu kekuatan dogmatis bernama ‘elit global’ yang bersekongkol menghadirkan fakta palsu dengan tujuan jahat.

Oleh karena itu, satu dua orang ilmuwan yang tidak representatif namun tampil keluar jalur dan vokal menyuarakan nalar konspirasi akan dianggap sebagai pahlawan.

Baca Juga: Malaysia Kewalahan Hadapi Lonjakan Kasus Covid-19, Dokter: Masih Percaya Konspirasi? 

3. Psikologi penganut Konspirasi

Ketiga, soal psikologi penganut Konspirasi. Selain defensif dan denial, penganut konspirasi kerap disebut terjangkit perasaan narsisme kolektif.

Peneliti seperti Cicchocka, Marchlewska, dan Golec de Zavala (2016) menyimpulkan bahwa penganut konspirasi meyakini dirinya sebagai kelompok hebat namun orang lain tidak cukup menghargainya.

Cicchocka dkk lalu menjelaskan bahwa pandangan berlebihan tentang diri sendiri karena mereka  membutuhkan validasi eksternal.

Sebab, mereka meyakini bahwa kompetensi mereka dianggap sepele karena hasil sabotase oleh pemilik kekuasaan.

Oleh karena itu, bagi kita pengabaian argumen mereka sebenarnya adalah tindakan yang cukup beralasan.

Sebab kecilnya spotlight terhadap argumen mereka berbanding lurus dengan semangat mereka menyebarkan propaganda.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Muhammadiyah

Tags

Terkini

Terpopuler