PIKIRAN RAKYAT - Dua warga negara Tiongkok yang melakukan jurnalisme warga (citizen journalism), Chen Qiushi dan Fang Bin, hilang pada beberapa waktu lalu.
Keduanya merupakan warga Tiongkok yang sangat sering memberitakan kejadian sehari-hari di Wuhan, episentrum wabah virus Corona.
Dikutip oleh pikiranrakyat-bekasi.com dari situs South China Morning Post, transparansi informasi dan jurnalistik di Tiongkok merupakan hal yang sulit, dan jurnalis warga (citizen journalist) merupakan komponen yang krusial dalam transparasi informasi.
Baca Juga: Desa Junrejo dan Desa Punten, Konsep Kampung Ramah Anak
Meski begitu, citizen journalist di Tiongkok mengalami kesulitan untuk memberitakan keadaan yang sejujur-jujurnya karena mereka dapat dijerat hukum karena tidak memiliki kartu pers.
Meski beberapa media resmi di Tiongkok kadang mempublikasikan reportase kritis, mereka masih tidak dapat sepenuhnya bergerak bebas.
Di sisi lain, media resmi milik negara hanya memberitakan apa yang diucapkan oleh pemerintah Tiongkok dan berfokus pada upaya pemerintah untuk menangani virus tersebut.
Baca Juga: Manfaatkan Momentum Virus Corona, Polda Metro Jaya Gerebek Pabrik Masker Ilegal di Daerah Cilincing
Media-media resmi milik negara Tiongkok juga cenderung mengecilkan dampak dari virus corona.
Padahal, melalui citizen journalist seperti Chen dan Fang, informasi yang menarik, tidak biasa, dan faktual dapat diberitakan.
Kabar terakhir terdengar dari Chen pada tanggal 7 Februari 2020 silam.
Sebelumnya, ia sempat mewawancarai seorang warga Wuhan bernama A Ming yang menceritakan ayahnya yang meninggal karena virus corona pada bulan Januari.
Dalam wawancara tersebut, A Ming menyatakan bahwa sebelum kabar virus itu merebak ke permukaan, rumah sakit di kota tersebut tidak memiliki metode keamanan yang memadai.
Fang terakhir terlihat ketika tengah dibawa oleh polisi dua hari setelah Chen menghilang.
Baca Juga: Arab Saudi Tutup Akses Masuk Jemaah Umrah karena Virus Corona, Jokowi: Kami Hormati Keputusan Itu
Fang merupakan salah satu warga Wuhan yang vokal dalam mengabarkan perlawanan terhadap partai Komunis dan melaporkan kegiatan di rumah sakit sekitarnya.
Kedua jurnalis warga itu sering mengabarkan informasi mengenai virus Corona yang tidak diberitakan oleh media milik negara, termasuk foto-foto mengenai mayat di koridor rumah sakit dan tumpukan mayat di mobil van.
Hilangnya kedua jurnalis warga tersebut dianggap sebagai upaya pembungkaman kebebasan berbicara dan kebebasan pers.
Dikutip dari Reporters Without Borders atau Reporters Sans Frontieres (RSF), organisasi nonprofit yang bergerak di bidang perlindungan jurnalisme dan kebebasan informasi, Tiongkok menempati posisi ke-177 dari 180 negara yang tercatat dalam indeks kebebasan pers milik RSF.
Sebagai pembanding, Indonesia menempati posisi ke-124 dan Amerika Serikat menempati posisi ke-48.
Hukum pers yang ketat dan kontrol Partai Komunis Tiongkok terhadap media-media Tiongkok mempersulit jurnalis, baik dari Tiongkok maupun luar negeri, dalam mempublikasikan berita-berita yang kritis.
Baca Juga: Menyebar dengan Cepat ke Sejumlah Negara, WHO Yakin Virus Corona Dapat Dikendalikan
Dua kasus penjegalan kebebasan pers paling buruk yang pernah terjadi di Tiongkok adalah kasus kematian Liu Xiaobo dan Yang Tongyan.
Liu, seorang nomine Nobel perdamaian, dan Yang, blogger kritis, ditahan oleh pihak berwajib dan meninggal karena penyakit kanker yang sama sekali tak diobati ketika mereka dalam tahanan.
Mengingat rekam jejak tersebut, akan sulit untuk berbagai media Tiongkok untuk mengungkapkan kebenaran dengan sejujur-jujurnya, baik dalam kasus virus Corona maupun kasus lainnya yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan Tiongkok.***