Usulan Hak Angket DPR Makin Solid, Ini Rekam Jejak Penggunaannya Sejak Era Presiden Soekarno sampai Jokowi

25 Februari 2024, 07:53 WIB
Ilustrasi Hak Angket DPR. /Unsplash/Hansjörg Keller/

PATRIOT BEKASI - Hak Angket adalah salah satu hak yang melekat pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dirancang untuk memungkinkan DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang.

Menurut informasi yang disampaikan dalam laman resmi DPR RI, Hak Angket merupakan wewenang DPR untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang dianggap vital, strategis, dan memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Saat ini, pembahasan mengenai penggunaan Hak Angket oleh DPR menjadi sorotan masyarakat. Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 3, mendorong partai-partai pengusungnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan, untuk mengajukan hak angket atau melakukan penyelidikan terkait dugaan kecurangan dalam Pemilihan Presiden 2024 di DPR.

Usulan dari Ganjar disambut dengan baik oleh calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, yang mendukung langkah tersebut dan yakin bahwa partai-partai pendukungnya, seperti Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa, juga akan memberikan dukungan.

Baca Juga: Polisi Ungkap Kronologi Penemuan Anak Tewas di Dalam Mobil di Bekasi, Begini Katanya

Meskipun tujuan sebenarnya dari hak angket adalah untuk memungkinkan DPR melakukan fungsi pengawasan, tidak jarang terjadi penilaian bahwa penggunaan hak angket memiliki motif politik. Dalam sejarah konstitusi Indonesia, telah terjadi berbagai kasus di mana hak angket digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Berikut adalah beberapa hak angket DPR yang pernah dilayangkan berdasarkan era presiden yang menjabat saat itu.

1. Masa Pemerintahan Presiden Sukarno

Hak Angket Penggunaan Devisa

Pada tahun 1950-an, DPR memperkenalkan Hak Angket untuk pertama kalinya. R. Margono Djojohadikusumo, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), mengusulkan agar DPR memanfaatkan Hak Angket untuk menyelidiki kerugian akibat penggunaan devisa oleh pemerintah, sejalan dengan UU Pengawasan Devisen tahun 1940.

Komite Hak Angket terdiri dari 13 anggota, dengan Margono sebagai ketua. Namun, hingga terbentuknya kabinet pasca-Pemilu 1955, tak jelas apa nasib dari penyelidikan tersebut. Penting dicatat bahwa pada periode tersebut, Indonesia mengadopsi UUDS 1950 sebelum kemudian kembali ke UUD 1945 setelah dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1959.

2. Masa Pemerintahan Presiden Soeharto

Hak Angket Pertamina

Pada tahun 1980, DPR menginisiasi Hak Angket sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap jawaban Presiden Soeharto terkait kasus yang melibatkan H. Thahir dan Pertamina. Jawaban tersebut disampaikan oleh Mensesneg Sudharmono dalam Sidang Pleno DPR pada tanggal 21 Juli 1980. Panitia angket terdiri dari 20 anggota, dengan 14 anggota berasal dari FPDI dan 6 anggota dari FPP. Namun, upaya penyelidikan ini akhirnya ditolak oleh Sidang Pleno DPR.

3. Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid

Hak Angket Buloggate dan Bruneigate

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), beliau mengeluarkan memorandum pembubaran parlemen, yang kemudian direspons dengan penyelidikan angket terkait kasus Bulog dan sumbangan dari sultan Brunei (dikenal sebagai Buloggate dan Bruneigate) pada tahun 2000.

Panitia khusus untuk hak angket ini dipimpin oleh Bachtiar Chamsyah. Selain penyelidikan melalui hak angket ini, pada masa pemerintahan Gus Dur juga terjadi beberapa inisiatif interpelasi oleh DPR. Pada akhirnya, pada tahun 2001, Abdurrahman Wahid dimakzulkan dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia

4. Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Hak Angket Dana Nonbujeter Bulog

Terjadi kerugian negara sebesar Rp 40 miliar akibat penyelewengan dana nonbujeter Bulog. Pengadilan telah menjatuhkan vonis terhadap pejabat yang terlibat dalam kasus tersebut. Namun, pada saat yang sama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggunakan Hak Angket, yang menyebabkan putusan pengadilan tersebut menjadi tidak berlaku.


5. Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Hak Angket Penjualan Kapal Tanker Pertamina

Pada tahun 2004, Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menyimpulkan bahwa Pertamina bersalah dalam penjualan dua unit kapal tanker VLCC. Menghadapi hal ini, DPR memutuskan untuk menggunakan Hak Angket guna menyelidiki kasus tersebut pada tahun 2005.

Hak Angket Penyelesaian Kasus BLBI

Setelah penangkapan Jaksa Urip Tri Gunawan, KPK didorong untuk menyelesaikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namun, ada dugaan bahwa penyelidikan terhadap kasus BLBI dihentikan. Pada Maret 2008, surat edaran untuk mengajukan Hak Angket terkait penyelesaian kasus BLBI mulai disebarkan. Akhirnya, Sidang Paripurna DPR menyetujui Hak Angket tersebut, meskipun juga membentuk Tim Pengawas Hak Angket BLBI.

Hak Angket DPT Pemilu 2009

Pada tahun 2009, penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu menjadi perdebatan di kalangan anggota DPR. Akhirnya, Hak Angket terkait DPT Pemilu 2009 diusulkan dan disetujui pada Sidang Paripurna DPR pada tanggal 26 Mei 2009. Panitia khusus untuk penyelidikan ini dipimpin oleh anggota FPDIP, Gayus Lumbuun, yang kemudian memanggil KPU dan ahli IT untuk dimintai keterangan.

Hak Angket Century

Pada akhir tahun 2009, pencairan dana bantuan sebesar Rp 6,7 triliun untuk Bank Century menimbulkan banyak pertanyaan. DPR kemudian mengajukan Hak Angket Century untuk menyelidiki hal tersebut. Sejumlah tokoh besar, termasuk Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani, dan Wakil Presiden Boediono, dipanggil oleh Panitia Khusus Angket Century. Pada Maret 2010, Ketua Panitia Khusus Hak Angket Century, Idrus Marham, mengumumkan hasil penyelidikan bahwa terdapat indikasi kesalahan dari pemerintah dalam penanganan krisis Bank Century, sehingga DPR meminta BPK untuk melakukan audit investigasi.

6. Masa Pemerintahan Presiden Jokowi

Hak angket KPK

Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, terjadi insiden terkait Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK menolak memberikan rekaman Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait kasus e-KTP yang melibatkan Miryam Haryani. Rekaman BAP tersebut mencantumkan nama-nama besar anggota dan mantan anggota DPR.

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, yang memimpin sidang paripurna, tiba-tiba menyetujui usulan Hak Angket terhadap KPK. Keputusan tersebut diambil meskipun sedang terjadi hujan interupsi di dalam ruang sidang, yang mengakibatkan sejumlah anggota DPR meninggalkan sidang.

Fraksi Gerindra, Partai Demokrat, dan PKB menentang penggunaan Hak Angket terhadap KPK. Partai Demokrat bahkan menyebut bahwa Hak Angket justru akan melemahkan KPK. Pada tanggal 14 Februari 2018, Panitia Angket DPR terhadap KPK telah menyampaikan laporan dan memberikan rekomendasi dalam empat bidang.***

Editor: M Hafni Ali

Tags

Terkini

Terpopuler