Kasus Kekerasan Seksual Sepanjang 2019 mencapai 1.136 Kasus, Aktivis Perempuan Dorong RUU PKS Disahkan

18 Februari 2020, 16:09 WIB
ILUSTRASI pelecehan seksual.* /PIXABAY

PIKIRAN RAKYAT - Banyaknya kasus kekerasan seksual membuat sejumlah aktivis yang fokus terhadap isu perempuan untuk mendorong disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Menurut catatan tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, kekerasan seksual di ranah publik mencapai jumlah persentasi 28 persen.

Pada ranah publik dan komunitas kekerasan perempuan tercatat terdapat 3.915 kasus.

Baca Juga: Komnas Perempuan: Dedy Suanto Gunakan Relasi Kuasa untuk Kepentingan Seksualnya

Sementara itu, kekerasan seksual seperti pencabulan 1.136 kasus, perkosaan 762 kasus, dan pelecehan seksual 394 kasus. Sedangkan persetubuhan sebanyak 156 kasus.

Atas kasus tudingan kekerasan seksual yang ditunjukkan kepada Dedy Susanto ahli terapi psikologi, beberapa aktivis perempuan menanggapi hal ini. Bahwa relasi kuasa membuat perempuan rentan menjadi korban tindak kekerasan seksual.

Dewan Pembina Sapa Institut, Pusat Pendidikan, Informasi, dan Komunikasi Perempuan Sri Mulyati mengatakan isu kekerasan seksual dengan modus relasi kuasa bukanlah hal yang baru.

Baca Juga: Ashraf Sinclair Akan Dimakamkan Setelah Ashar di San Diego Hills

“Pelakunya bisa jadi psikolog, ada juga perawat, dukun tradisional, modusnya adalah dengan dalih pengobatan, ada yang sampai pada tahap pemerkosaan hingga ada juga yang mengalami kehamilan,” katanya saat di wawancara oleh pikiranrakyat-bekasi.com lewat sambungan telepon.

Untuk kasus seperti pelecehan seksual, menurut Sri belum ada Undang-Undang yang menaunginya.

“Kalau perkosaan sudah diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana red.)," ungkapnya.

Baca Juga: Lakukan Operasi Pasar dan Tawarkan Bawang Putih Murah, Ridwan Kamil: Semoga Bisa Bermanfaat untuk Masyarakat

“Apalagi kalau sudah terekspose ke media, takutnya berakhir seperti kasus Baiq Nuril yang mendapat kasusu UU ITE,” jelasnya.

Menurut Sri yang perlu dilakukan hal pertama yang harus dilakukan ketika ada yang melapor adalah pemulihan psikologi korban agar tidak trauma.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Jabar Wawan Wg menyesalkan atas pembahasan RUU PKS yang terkesan lambat di periode DPR yang lalu.

Baca Juga: Siaga 3 Virus Corona di Bekasi Hingga Meikarta Jadi Pusat Penyebarannya, Pemkab Bekasi Angkat Bicara

“Padahal korban terus berjatuhan. DPR malah sibuk membahas peristilahan, dan banyak kekhawatiran,” terang Wawan saat di wawacara oleh pikiranrakyat-bekasi.com lewat pesan singkat.

Dia melanjutkan, seharusnya fakta-fakta di lapangan menjadi faktor terkuat untuk segera disahkannya RUU PKS tersebut.

Menurutnya, hal itu penting karena tidak hanya melindungi perempuan secara hukum, namun untuk kemajuan Hak Asasi pada Umumnya.

Baca Juga: Siaga 3 Virus Corona di Bekasi Hingga Meikarta Jadi Pusat Penyebarannya, Pemkab Bekasi Angkat Bicara

“Spirit sosiologis terbitnya UU adalah untuk menjawab permasalahan di lapangan, kita melihat banyak kasus, saya kira tawaran draft RUU PKS dari Komnas Perempuan dan jaringan forum pengada layanan sudah sangat bagus, karena itu diambil dari kasus-kasus yamg terjadi di lapangan," jelasnya.

Saat ini dirinya bersama Jaringan perempuan lainnya akan terus memberi desakan ke pihak terkait dan juga mendiskusikan agar RUU PKS ini diperhatikan.

“Kami jg terus memperkuat argumen substansi kenapa RUU PKS ini sangat penting, dan kami akan terus melakukan kampanye publik, agar masyarakat tidak sekedar turut mendukung disahkannya RUU PKS ini, tapi juga memiliki cara pandang dan sikap lebih baik terhadap perempuan,” tutupnya.***

Editor: Billy Mulya Putra

Tags

Terkini

Terpopuler