Persidangan 'Dagelan' Novel Baswedan Dinilai Penuh Sandiwara, KontraS: Ada Banyak Kejanggalan

13 Juni 2020, 14:13 WIB
NOVEL Baswedan terima penghargaan antikorupsi internasional.* /ANTARA

PR BEKASI - Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta hanya menuntut dua terdakwa penyerang Novel Baswedan selama satu tahun penjara. Hal itu dinilai banyak pihak sebagai bentuk sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat, akhirnya terkonfirmasi.

Tuntutan ini tidak hanya sangat rendah, akan tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan, terlebih ini adalah serangan brutal kepada Penyidik KPK yang telah terlibat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi.

Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elite mafia korupsi dan kekerasan.

Baca Juga: Kebijakan Drone Bersenjata Resmi Diperbarui, Ahli Senjata Khawatirkan Konflik Global Akan Meningkat 

Menurut laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekesaran (KontraS), sejak awal Tim Advokasi Novel Baswedan mengemukakan bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam persidangan ini.

Pertama, dakwaan jaksa seakan berupaya untuk menafikkan fakta kejadian yang sebenarnya. Sebab, jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan.

Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia. Sehingga jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Kedua, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan jaksa di persidangan. Dalam pantauan Tim Advokasi Novel Baswedan, setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.

Baca Juga: Intip Peluang Bisnis Baru, New Balance Luncurkan Masker V3 yang Dilapisi oleh 3 Bahan 

Tiga saksi itu pun juga diketahui sudah pernah diperiksa oleh Penyidik Polri, Komnas HAM, dan Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.

Namun, jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini. Padahal esensi hukum pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil sehingga langkah jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya.

Ketiga, peran penuntut umum terlihat seperti pembela para terdakwa. Hal ini dengan mudah dapat disimpulkan oleh masyarakat ketika melihat tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa.

Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel pun, jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan penyidik KPK ini.

Baca Juga: Segera Cek, Peneliti Sebut Warna Urine Gelap Pertanda Awal Terinfeksi Virus 

Padahal menurut KontraS, semestinya jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru mebuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan.

Persidangan kasus ini juga menunjukkan hukum digunakan bukan untuk keadilan, tetapi sebaliknya hukum digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman “alakadarnya”, menutup keterlibatan aktor intelektual, mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan yang sistematis, dan memberi bantuan hukum dari Polri kepada pelaku.

Padahal jelas menurut Pasal 13 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendampingan hukum baru dapat dilakukan bilamana tindakan yang dituduhkan berkaitan dengan kepentingan tugas.***

Editor: M Bayu Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler