Akibat Pandemi Corona, Tradisi Awal Puasa Dilakukan Tanpa Keramaian

- 24 April 2020, 04:00 WIB
ILUSTRASI Bulan Suci Ramadhan
ILUSTRASI Bulan Suci Ramadhan /PIXABAY/.*/PIXABAY

PIKIRAN RAKYAT - Warga Indonesia di berbagai daerah punya tradisi masing-masing dalam menyambut bulan Ramadhan.

Tradisi-tradisi tersebut biasanya dilakukan secara meriah sebagai ungkapan rasa syukur karena dapat bertemu lagi dengan bulan yang suci.

Sayangnya, akibat pandemi virus Corona, banyak kegiatan awal puasa yang terpaksa dilakukan tanpa keramaian.

Dikutip dari situs berita Antara oleh Pikiranrakyat-Bekasi.com, salah satu tradisi menyambut bulan puasa di Indonesia adalah Dugderan.

Baca Juga: Sinopsis 15 Minutes, Kisah Detektif Menguak Misteri Pembunuhan yang Tayang Malam Ini 

Dugderan yang merupakan perayaan awal bulan Ramadhan digelar pada Kamis, 23 April 2020 di Masjid Kauman Semarang tanpa keramaian, hanya dihadiri oleh Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, Wakil Wali Kota Hevearita G. Rahayu, takmir Masjid Kauman, dan sejumlah kiai.

Biasanya Dugderan yang digelar setiap awal puasa ramai dengan arak-arakan, namun hari ini acara hanya digelar dengan pembacaan Suhuf Halaqof dari Hendrar dan pemukulan bedug sebagai tanda dimulainya Ramadhan.

“Karena ada wabah Covid-19, Dugderan kali ini digelar sederhana,” ujarnya.

Kesederhanaan tersebut diharapkan oleh Hendrar tak mengurangi semangat warga Semarang dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Baca Juga: Jurnalis Tiongkok yang Ungkap Virus Corona di Wuhan Kembali, Sebut Telah Ditahan Polisi 

Di Aceh, masyarakatnya biasa melaksanakan berbagai acara tradisional seperti Minggu Habeh (makan bersama di pantai), Mandi Balimao yang dilakukan di Barat Selatan Aceh, Kenduri alias jamuan makan, dan pawai tarhib.

Semua perayaan tersebut tak dapat terlaksana tahun ini akibat mewabahnya virus Corona di Indonesia. Tradisi yang masih dilakukan, meski tidak semeriah biasanya, adalah Meugang.

Meugang adalah tradisi menyembelih hewan ternak yang selalu dilakukan masyarakat Aceh menjelang puasa dan menyantapnya bersama keluarga besar.

Menurut pemerhati sejarah Aceh, Tarmizi A. Hamid, wabah Corona tidak menyurutkan kebiasaan warga untuk melakukan Meugang.

Baca Juga: Sinopsis Danur: I Can See The Ghost, Kisah Horor Risa Saraswati yang Tayang Malam ini 

“Artinya, makna hakiki dari Meugang itu adalah menyantap atau makan bersama keluarga besar. Bagi warga di perantauan yang masih memiliki orang tua, dipastikan pulang kampung di hari Meugang seraya saling memaafkan di antara mereka,” tuturnya.

Meski di tengah berbagai keterbatasan, tradisi Meugang tetap dilaksanakan meski tak seluruh anggota keluarga dapat menghadirinya karena beberapa lapisan masyarakat Aceh seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) serta pegawai BUMN dan TNI/Polri tak dapat mudik ke kampung halaman.

“Masyarakat tetap melaksanakan tradisi Meugang menyambut puasa, namun mungkin agak terbatas karena faktor ekonomi yang terganggu akibat Covid-19,” ujar Tarmizi.

Baca Juga: Cek Fakta: Tidak Ada Napi Aktivis Islam yang Dapat Asimilasi Akibat Corona, Simak Faktanya 

Faktor ekonomi tersebut juga dirasakan oleh Azis Awee, pedagang daging di Pasar Tradisional Lambaro, Aceh Besar.

“Wabah Corona membuat lemahnya daya beli masyarakat akibat dari pendapatan yang berkurang. Harapan saya agar wabah Covid-19 bisa berakhir,” ujar Azis.

Azis bercerita bahwa sapi yang terjual olehnya untuk disembelih pada Meugang tahun ini hanya enam ekor, sementara Meugang tahun lalu membuatnya berhasil menjual 12 ekor sapi.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x