Kenapa Lelaki Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual? Berikut Penjelasan Peneliti

18 Mei 2022, 13:08 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual pada lelaki. /Freepik

PR BEKASI – Kasus kekerasan seksual ternyata bukan hanya menyasar perempuan, tetapi juga kaum lelaki.

Hal ini bisa diketahui dari kasus pada April 2021 lalu yakni perempuan 28 tahun yang menggagahi lelaki 16 tahun.

Kasus di Probolinggo, Jawa Timur itu menunjukkan bahwa lelaki juga rentan meajdi korban kekerasan seksual.

Baca Juga: Info Loker: PT Karanganyar Indo Auto Systems Buka Lowongan Kerja Lulusan D3, Simak Posisi yang Dibutuhkan

Dalam kasus tersebut, korban mengaku sebelum dirudapaksa, ia terlebih dahulu dicekoki minuman keras oleh pelaku.

Fenomena ini diteliti Abdullah Faqih, Intan Kusumaning Tiyas, dan Rizka Antika dalam artikel yang dimuat di The Conversation.

Abdullah Faqih adalah peneliti di SMERU Research Institute, Intan Kusumaning Tiyas adalah mahasiswa master Erasmus University Rotterdam.

Baca Juga: Tes IQ: Hanya Orang Jenius yang Bisa Lihat Anjing dalam Gambar Berikut! Apakah Kamu Termasuk?

Sedangkan Rizka Antika adalah peneliti di International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).

“Pada tahun yang sama, publik kembali dihebohkan oleh kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang laki-laki pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dilakukan oleh rekan kerjanya yang juga sesama laki-laki.

“Delapan orang pelaku dipecat karena kasus tersebut. Sementara itu, korban masih menjalani proses penyembuhan dari depresi akut,” ujarnya.

Baca Juga: Jadwal Tayang Drama Korea Woori The Virgin Episode 5 dan 6: Jawab Kelanjutan Hubungan Kang Jae dan Oh Woo Ri

Ironisnya saat perempuan dan anak-anak sudah punya saluran untuk berlindung, hal ini tidak terjadi pada lelaki.

“Budaya maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang dilahirkan oleh masyarakat patriarki diyakini menjadi tabunya kenyataan bahwa laki-laki dapat menjadi korban kekerasan seksual.

“Budaya patriarki membangun konstruksi bahwa laki-laki merupakan sosok yang kuat, dominan, serta memiliki posisi tawar (bargaining position) dan kuasa (power) yang lebih atas perempuan, sehingga mustahil mengalami kekerasan seksual,” katanya.

Baca Juga: Ustaz Abdul Somad Ceritakan Kronologi Isu Dideportasi dari Singapura: Sudah Dapat Izin Masuk

Penyebabnya adalah para lelaki dianggap memiliki kekuatan lebih sehingga dianggap tidak mungkin menjadi korban terlebih oleh pelaku perempuan.

Hal itu membuat mereka mendapat stigma seperti “payah”, kurang macho”, dan sebagainya saat mereka akan bicara seputar kekerasan seksual.

Rendahnya pengaduan oleh lelaki bukan berarti kasus pada mereka tidak terjadi begitu saja, dikutip Pikiran-rakyat.Bekasi.com dari laman The Conversation.

Baca Juga: 5 Zodiak Beruntung pada 19-22 Mei 2022, Anda Termasuk Salah Satunya?

“Lalu, ketika laki-laki akhirnya berani menyuarakan pengalamannya sebagai korban, publik malah meragukannya.

“Anggapan bahwa laki-laki adalah makhluk yang agresif secara seksual membuat mereka kerap kali dituding “menikmati keuntungan” dari kekerasan seksual yang menimpanya,” ujarnya.

Hasilnya lelaki selalu diidentikkan sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban, sesuatu yang belum tentu benar seluruhnya.

“Padahal, kekerasan seksual terjadi ketika ada perbuatan seksual yang dilakukan dengan cara memaksa atau tanpa persetujuan akibat relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban dan, karenanya, dapat menimpa siapa pun,” katanya.***

Editor: Akhmad Jauhari

Sumber: The Conversation

Tags

Terkini

Terpopuler