Facebook, Twitter, dan LinkedIn Amankan Akun Warga Afghanistan dari Buruan Kelompok Taliban

20 Agustus 2021, 15:16 WIB
Ilustrasi. Facebook, Twitter, dan LinkedIn amankan warga Afghanistan dari kelompok Taliban. / Pexels

PR BEKASI - Facebook, Twitter, dan LinkedIn mengatakan bahwa mereka telah bergerak untuk mengamankan akun warga Afghanistan agar tidak menjadi sasaran perburuan kelompok Taliban.

Menurut Kepala Kebijakan Keamanan Facebook, Nathaniel Gleicher melalui kicauannya di Twitter pada Kamis, 20 Agustus 2021, Facebook telah menutup sementara akses untuk melihat atau mencari daftar teman dari akun seseorang di Afghanistan.

Gleicher juga mengatakan, pihaknya telah meluncurkan "fasilitas satu kali klik" bagi pengguna FB di Afghanistan untuk mengunci akun mereka, sehingga orang-orang yang bukan teman FB mereka tidak akan dapat melihat unggahan atau membagikan foto profil mereka.

Baca Juga: Nekat Turunkan Bendera Taliban, Dua Orang Ditembak Mati dalam Unjuk Rasa di Jalalabad Afghanistan

Sebelumnya, kelompok hak asasi manusia telah menyuarakan keprihatinan bahwa Taliban dapat menggunakan platform online untuk melacak jejak digital atau koneksi sosial warga Afghanistan, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari ABC Australia.

Amnesty International mengatakan minggu ini bahwa ribuan warga Afghanistan, termasuk akademisi, jurnalis dan pembela hak asasi manusia, menghadapi risiko serius atas aksi pembalasan Taliban.

Mantan kapten tim sepak bola perempuan Afghanistan juga mendesak para pemain lain untuk menghapus akun media sosial dan menghapus identitas publik mereka.

Baca Juga: Dokter Wanita Ini Kabur dari Afghanistan Usai Mendapat Ancaman karena Beri KB kepada Pengantin Taliban

Sementara itu, Twitter mengatakan pihaknya berhubungan dengan mitra masyarakat sipil untuk membantu kelompok-kelompok di Afghanistan, dan bekerja sama dengan Arsip Internet untuk mempercepat permintaan menghapus kicauan yang diarsipkan.

Twitter juga memastikan, jika individu tidak dapat mengakses akun yang berisi informasi yang dapat membahayakan mereka, seperti pesan langsung atau daftar followers, Twitter dapat menangguhkan sementara akun tersebut sampai pemiliknya bisa mendapatkan kembali akses akun dan dapat menghapus konten mereka.

Selain itu, Twitter juga mengatakan bahwa mereka secara proaktif memantau akun yang berafiliasi dengan organisasi pemerintah dan mungkin menangguhkan sementara akun-akun itu sambil menunggu informasi tambahan untuk mengonfirmasi identitas mereka.

Baca Juga: Joe Biden Bantah Klaim Afghanistan Akan Kembali ke Kondisi Sebelum Invasi AS 2001

Seorang juru bicara LinkedIn mengatakan situs jaringan profesional itu telah menyembunyikan sementara koneksi penggunanya di Afghanistan sehingga pengguna lain tidak dapat melihatnya.

Larangan Facebook terhadap Taliban

Facebook mungkin tidak mencabut larangannya terhadap Taliban bahkan jika Amerika Serikat mencabut sanksi pada kelompok itu.

Departemen Luar Negeri AS tidak mencantumkan Taliban Afghanistan sebagai Organisasi Teroris Asing seperti halnya Taliban Pakistan. Tetapi Pemerintah AS memberikan sanksi kepada kelompok itu sebagai "Teroris Global Khusus," membekukan aset mereka di AS yang masuk daftar hitam, serta melarang orang Amerika bekerja dengan mereka.

Baca Juga: Suasana Kabul Memanas, Pemerintah Indonesia Berhasil Evakuasi WNI dari Afghanistan

"Mereka tidak akan diizinkan karena hal itu diatur oleh undang-undang AS, tapi bahkan jika mereka tidak lagi dibatasi oleh undang-undang AS, kami harus melakukan analisis kebijakan tentang apakah mereka tetap melanggar kebijakan kami soal organisasi berbahaya atau tidak," ujar wakil presiden Facebook untuk kebijakan konten Monika Bickert.

Facebook mengatakan mereka mengidentifikasi Taliban sebagai kelompok teroris dan melarangnya dari platform media sosial terbesar di dunia itu.

Monika Bickert mengatakan larangan itu sudah ada sebelum dia bergabung dengan perusahaan itu pada 2012.

Baca Juga: Taliban Eksekusi Mati Mantan Kepala ISIS yang di Penjara oleh Pemerintah Afghanistan

Perusahaan teknologi raksasa lain kini menyikapi keberadaan Taliban dengan berbeda. YouTube mengatakan bahwa mereka melarang grup tersebut karena sanksi AS, tetapi Twitter mengizinkan kelompok itu di platformnya.

"Pada tahun 2001 ketika AS menginvasi Afghanistan, perusahaan-perusahaan ini belum ada," kata Rose Jackson, direktur Inisiatif Demokrasi & Teknologi di Laboratorium Penelitian Forensik Digital Dewan Atlantik.

Taliban semakin piawai secara digital dan sekarang menggunakan berbagai platform media sosial dan layanan pesan seperti WhatsApp dan Telegram untuk berkomunikasi dengan warga Afghanistan dan komunitas internasional.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: ABC Australia

Tags

Terkini

Terpopuler