“Sebagian besar penelitian vitamin D sangat sulit untuk ditafsirkan karena mereka tidak dapat menyesuaikan faktor risiko yang diketahui untuk Covid-19 yang parah seperti usia yang lebih tua atau memiliki penyakit kronis, yang juga merupakan prediktor vitamin D yang rendah,” kata Guillaume Butler-Laporte selaku dokter dan peneliti di McGill, dikuti Pikiranrakyat-Bekasi.com melalui UPI, Sabtu, 5 Juni 2021.
Kemudian para peneliti mengatakan bahwa dengan menggunakan pengacakan Mendel, mereka dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang hubungan antara vitamin D dan Covid-19.
Baca Juga: Ditinggal Sebentar ke Minimarket, Rumah Warga di Bekasi Dibobol Maling
Selain itu, juga dapat dengan lebih mempertimbangkan faktor risiko penyakit yang diketahui.
Tetapi para peneliti juga mencatat bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan.
Seperti halnya tidak memperhitungkan pasien yang benar-benar kekurangan vitamin D dan menggunakan varian genetik yang hanya dari keturunan Eropa.
Baca Juga: Calon Jemaah Haji Batal Berangkat, Puan Maharani Minta Kuota Indonesia Selanjutnya Ditambah
“Suplementasi vitamin D sebagai ukuran kesehatan masyarakat untuk meningkatkan hasil tidak didukung oleh penelitian ini,” kata para peneliti dalam penelitian tersebut.
"Yang paling penting, hasil kami menunjukkan bahwa investasi di jalan terapeutik atau pencegahan lainnya harus diprioritaskan untuk uji klinis acak Covid-19," sambungnya.
Sementara itu, studi lebih lanjut juga diperlukan untuk mengeksplorasi hubungan antara vitamin D dan hasil Covid-19 pada populasi lain.***