Gejala Baru Ditemukan pada Pasien Virus Corona di AS, Para Peneliti Akui Kebingungan

- 22 Mei 2020, 17:00 WIB
ILUSTRASI Petugas kesehatan mendorong usungan dengan jenazah di Pusat Medis Yahudi Kingsbrook ditengah mewabahnya virus corona (COVID-19) di kawasan Brooklyn, New York, Amerika Serikat, Rabu, 8 April 2020.*
ILUSTRASI Petugas kesehatan mendorong usungan dengan jenazah di Pusat Medis Yahudi Kingsbrook ditengah mewabahnya virus corona (COVID-19) di kawasan Brooklyn, New York, Amerika Serikat, Rabu, 8 April 2020.* //REUTERS

PIKIRAN RAKYAT - Dokter di New York, Amerika Serikat (AS) melaporkan serangkaian gejala langka yang ditemukan pada pasien positif Virus Corona atau COVID-19.

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet pada Senin, paa dokter mengatakan pemindaian paru-paru pasien menunjukkan invasi jamur, menurut tes tidak ada tanda-tanda Virus Corona di saluran pernapasan bagian atas.

Bahkan pasien memiliki respon kekebalan yang disebut badai sitokin, hanya dalam beberapa jam dari awal penyakit.

Baca Juga: University of Oxford: Lembaga-lembaga Penelitian Tiongkok 'Bergerak Lebih Cepat' Meneliti COVID-19

Dikutip oleh pikiranrakyat-bekasi.com dari South China Morning Post tim peneliti yang dipimpin oleh Timothy Harkin dari divisi paru Rumah Sakit Mount Sinai mengatakan pasien adalah seorang ahli anestesi dengan kesehatan yang baik.

Kemudian pasien yang diketahui berusia 34 tahun itu pada awalnya dinyatakan influenza A dan gejala-gejalanya hilang setelah menjalani perawatan rutin.

"Untuk penyakit yang tidak diketahui hanya lima bulan yang lalu, mungkin terlalu dini bagi dokter untuk memastikan manifestasi mana yang khas," ucap tim penelti.

Baca Juga: Viral Kabar Peretasan Klaim Bobol Data Penduduk Indonesia, KPU: Tim Langsung Cek Kondisi Internal

Setelah lebih dari 10 hari istirahat, pasien kembali bekerja di pusat medis, namun tiba-tiba jatuh sakit dan dirawat di Unit Gawat Darurat (UGD) di Rumah Sakit Mount Sinai.

Gejala-gejala yang dirasakan pasien antara lain demam, kedinginan dan sesak nafas. Selain itu, pasien itu mengalami abadai sitokin, kondisi yang mengancam jiwa di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat.

Setelah dilakukan pemeriksaan COVID-19, Timothy Harkin mengatakan bahwa pasien yang bersangkutan dinyatakan negatif pandemi tersebut.

Baca Juga: Lakukan OTT di Kemdikbud, KPK Sebut Ada Kaitannya dengan THR dari UNJ

Gejala yang dirasakan pasien dengan cepat membaik, setelah diberikan beberapa antibiotik serta perawatan standar untuk infeksi paru-paru.

Akan tetapi memasuki hari kelima kondisi pasien kembali memburuk.

Pemindaian paru-paru pasien tersebut menunjukkan tanda adanya peradangan seperti halo di paru-paru kanan, yang mana menurut para ahli radiologi bisa terjadi infeksi jamur.

Baca Juga: Idulfitri 2020 Tanggal Berapa? Simak Penjelasannya

"(Peradagangan) itu tidak khas dari temuan CT yang dilaporka sebelumnya untuk Covid-19," katanya.

Namun, tim mencurigai bahwa pasien tersebut mungkin menderita Covid-19 dan dilakukanlah tes untuk virus corona lagi di hari ketujuh. Hasil tes kembali menunjukkan pasien tersebut dinyatakan negatif.

Pada akhirnya tim peneliti Mount Sinai memutuskan untuk mendapatkan sampel dengan cara menggunakan metode yang dikenal sebagai bronchoalveolar lavage (BAL).

Baca Juga: TKA Tiongkok Dikabarkan Datang ke Indonesia Kenakan Hazmat untuk Kelabui Orang-orang, Simak Faktanya

Metode BAL sendiri adalah memasukkan tabung ke ke paru-paru pasien untuk mengekstraksi cairan dan jaringan.

Biaya metode BAL dinilai mahal. Selain itu proses tersebut memakan waktu lama serta tidak nyaman. Maka dari itu metode BAL tidak banyak digunakan di AS.

Pasalnya, American Association of Bronchology dan Intervensional Pulmonology menentang penggunaan BAL dalam hal pengujian COVID-19 dalam semua kasus kecuali ekstrim.

Baca Juga: Masih Banyak Berkeliaran di Tengah Virus Corona, Perawat Ini Memohon Masyarakat Tetap di Rumah

Berbanding terbalik dengan AS, para peneliti di Tiongkok mengatakan bahwa dengan metode BAL dapat meningkatkan akurasi deteksi virus hingga mencapai 90 persen.

Dibandingkan metode usap hidung sekitar 60 persen dan usap oral sekitar 30 persen.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: South China Morning Post


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x