Sehingga menurut Rocky Gerung, Amerika ingin menghitung ulang papan catur di Laut China Selatan dengan mulai melakukan konsolidasi seperti proksi Jepang yang memiliki Korea Selatan, Filipina, dan Singapura.
"Kehadiran menteri luar negeri di GP Ansor, itu artinya ada hitungan yang sangat taktis, karena GP Ansor mewakili mayoritas umat Islam," ucapnya.
Baca Juga: Jasa Marga Imbau Warga Hindari Puncak Arus Balik ke Jakarta pada Minggu 1 Oktober 2020 Besok
Rocky Gerung pun menjelaskan mengapa Pompeo tidak berdiskusi dengan NU, menurutnya dalam hitungan politik luar negeri Amerika, militansi GP Ansor lebih terlihat daripada NU.
"GP Ansor itu militansinya itu lebih terlihat daripada manuver politik NU sebagai induk ideologisnya itu," ucapnya.
"Tentu ada pembicaraan dengan NU saat itu, mungkin diplomasi setengah kamar juga dengan beberapa ormas islam lainnya, tetapi kalau secara terbuka Pompeo memberi ceramah dan isi ceramah itu sangat kuat pesannya, bahwa hati-hati soal bahaya Cina segala macem bisa bahaya," tuturnya menambahkan.
Baca Juga: Ilmuwan Sebut Orang yang Enggan Pakai Masker di Keramaian Mungkin Punya Gangguan Kepribadian
Selain untuk mengobservasi Laut Cina Selatan, menurut Rocky Gerung, kedatangan Pompeo merupakan teguran Amerika kepada Indonesia
"Jadi sebetulnya Amerika menegur Indonesia melalui GP Ansor, kan itu pesan diplomatiknya, itu cara-cara yang kita pahami kalau kita belajar sedikit tentang strategi-strategi soft power dari Amerika," ucapnya.
Sehingga Menurutnya, GP Ansor dimanfaatkan atau dipakai oleh Amerika untuk menegur istana.