PR BEKASI - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, menanggapi hukuman yang diberikan kepada Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara atas kasus korupsi bantuan sosial (bansos).
Dikatakan Refly Harun bahwa hukuman yang diterima Juliari Batubara terkait korupsi bansos ini termasuk ringan.
"Ringan, karena isunya pernah hukuman mati atau hukuman maksimal 20 tahun penjara," kata Refly Harun pada Senin, 23 Agustus 2021.
Sebelumnya, Juliari Batubara dikenakan hukuman pidana selama 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Baca Juga: 'Mengemis' Minta Dibebaskan, Juliari Batubara Akhirnya Divonis 12 Tahun Penjara dan Denda Rp500 Juta
Juga penggantian korupsi sebanyak Rp14 miliar, subsider 2 tahun penjara, dan pencabutan hak politik selama 4 tahun.
Dia menyatakan 12 tahun itu memang ringan, terlebih masih belum diketahui apakah hukuman akan disunat di Pengadilan Tinggi atau tidak di Mahkamah Agung.
Sebab, dikatakan Refly, Pengadilan di Indonesia sangat rajin melakukan tindakan sunat menyunat.
"Pengadilan kita kan rajin menyunat," tuturnya, sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Refly Harun pada Senin, 23 Agustus 2021.
Dia pun membayangkan jika seandainya yang melakukan tindak pidana adalah anggota FPI.
"Waduh olok-oloknya sudah luar biasa buzzer, tapi ini PDIP tidak ada sama sekali kritik dan sebagainya," tuturnya.
Di sisi lain, dia juga merasa aneh dengan pembayaran pengganti korupsi yang hanya Rp14 miliar.
Pasalnya, korupsi yang dilakukan Juliari Batubara sebanyak Rp32 miliar, dan masih ada selisih Rp18 miliar.
"Kita tidak tahu kenapa bisa begitu. Yang jelas pasti ini menimbulkan sinikel dari penggiat anti korupsi," ujarnya.
Karena, dia menjelaskan, KPK sebelumnya telah membicarakan hukuman mati, tetapi ternyata lewat begitu saja.
Hukuman maksimal selama 20 tahun penjara pun ternyata lewat juga, dan hanya 12 tahun.
"Dan kita tidak tahu apakah nanti akan disunat atau tidak di Pengadilan Tinggi," ucapnya.
Refly Harun menyatakan hal ini bisa terjadi jika Hakim tidak memiliki rasa marah, gemas, atau ghirah terhadap tindakan korupsi.
Pada akhirnya tindak pidana korupsi hanya menjadi sebuah rutinitas, rakyat Indonesia pun menjadi imun terhadapnya.
Sementara itu para pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya menyoroti hal yang mereka anggap penting yaitu radikalisme.
"Korupsi tidak apa-apa yang penting Indonesia jangan jatuh ke radikalisme," katanya.
Refly Harun mengungkapkan bahwa radikalisme yang disebut pendukung Jokowi itu hanya sebuah hipotesis.
Jika memang terjadi pun di pinggir kekuasaan saja, tetapi korupsi sudah di pusat kekuasaan itu sendiri.
"Kita tidak pernah mengkhawatirkan itu, kita lebih khawatir radikalisme, intoleransi," tuturnya.
"Ya itu lah wacana yang dikembangkan Ngabalin Fadjroel Rachman, entah Faldo Maldini juga, para buzzer Istana contohnya," katanya, melanjutkan.
Menurutnya, jika seseorang tidak mempunyai rasa marah terhadap korupsi ini maka akan biasa saja.
Akhirnya akan dilihat sebagai tindak pidana biasa dan hukuman sangat bergantung pada desakan masyarakat.
"Mungkin kalau ada desakan masyarakat hukumannya agak berat, kalau tidak ya sudah mungkin hukumannya ringan-ringan saja," kata Refly Harun, menambahkan.***