Menag Sebut Radikalisme dari Orang Good Looking, Gatot Nurmantyo: Dialah Penyebar Virus Sebenarnya

8 September 2020, 15:53 WIB
Gatot Nurmantyo yang kini menjadi sorotan soal deklarasi KAMI.* /Antara

PR BEKASI – Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengunggah sebuah rekaman video pada kanal YouTube-nya yang membahas salah satu isu terhangat saar ini dan masih hangat dibicarakan.

Isu tersebut berangkat dari pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi yang menyebut bahwa radikalisme masuk ke masjid-masjid lewat masyarakat yang berpenampilan good looking. Hal itu membuat mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo marah terkait pernyataan Menteri Agama tersebut dalam sebuah rekaman video berdurasi 15 menit lebih 19 detik.

“Pernyataan Fachrul Razi, Menteri Agama, soal good-looking (adalah) orang yang mengajarkan, menyebarkan virus radikalisme di masjid-masjid” ujarnya dalam kalimat pembuka dalam kanal YouTube Refly Harun yang dilansir Pikiranrakyat-Bekasi.com pada Selasa, 8 September 2020.

Baca Juga: Demi Selfie di Air Terjun, Turis Ini Tewas Jatuh dari Ketinggian dan Kepalanya Terbentur Batu Tajam 

Pernyataan Fachrul Razi itu lantas dengan cepat mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak, salah satunya mantan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Kritikan Gatot Nurmantyo itu bahkan menjadi judul video ulas berita Refly Harun.

"GATOT NURMANTYO: TANGKAP SAYA, SAYALAH YANG MAKAR!!" demikian judul video pada kanal YouTube Refly Harun.

Refly Harun menilai bahwa pernyataan Menteri Agama tentang hafiz, radikalisme, dan  good-looking adalah pernyataan yang tidak produktif.

Baca Juga: UEFA Nation League: Prediksi dan Link Live Streaming Denmark vs Inggris, Rabu, 9 September 2020 

“Radikal-radikal ini selalu dijual... Tapi alasannya, sederhana. It’s all about policy. Soal persaingan, soal kekuasaan. Soal quo kekuasaan, soal quo ekonomi,” ujarnya. 

Refly Harun menyatakan bahwa orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan membutuhkan legitimasi untuk membuatnya tetap berada dalam lingkaran kekuasaan.

“Partai-partai yang reformis harus selalu berada dalam lingkaran kekuasaan. Salah satunya adalah bersama presiden Jokowi melawan radikalisme. Itu yang sering kita dengar dari politikus yang ada di istana,” katanya.

Menurutnya, ada permasalahan yang lebih fundamental ketimbang radikalisme. Permasalahan yang lebih berbahaya adalah korupsi.

Baca Juga: UEFA Nation League: Prediksi dan Link Live Streaming Denmark vs Inggris, Rabu, 9 September 2020 

“Radikalisme itu adalah suatu yang sifatnya hipotetis,” ucapnya

Refly Harun kemudian mengajak penonton untuk membandingkan data jumlah kasus radikalisme dengan kasus korupsi.

Ia bahkan menyantumkan data ICW tahun 2019 yang mencatat ada 271 kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan KPK.

Jumlahnya pun tak main-main, tersangka korupsi ada 580 orang, kerugian negara Rp8,4 triliun, jumlah suap Rp200 miliar, pungutan liar Rp3,7 miliar, dan jumlah pencucian uang Rp108 miliar.

“Bisnis dan kekuasaan bergandeng tangan, lalu korupsi merajalela. Itulah yang harus kita takutkan,” katanya menekankan.

Baca Juga: UEFA Nation League: Prediksi dan Link Live Streaming Prancis vs Kroasia, Rabu, 9 September 2020 

Berdasarkan penuturannya, Revisi Undang-undang KPK, pengesahan produk UU Minerba, pengesahan UU MK yang memberikan jabatan panjang bagi Hakim Konstitusi, dan Perppu Corona adalah produk-produk yang berpikir untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. 

Dalam kaitannya dengan kritikan, lanjut Refly Harun, pemerintah seharusnya tidak boleh menganggap kritikan sebagai bentuk radikalisme. Menurutnya, kritikan saat ini semakin sempit ruangnya sebab selalu dianggap bentuk radikalisme.

"Saya bisa saja dianggap radikal karena selalu mengkritik pemerintah, padahal bukan pemerintahannya yang dikritik tapi perilaku buruknya," ujar Refly Harunlagi.***

Editor: M Bayu Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler