Din Syamsuddin Sebut Ada Gejala Diktator di Rezim Jokowi, Refly Harun: Saya Tidak Membantah

24 Oktober 2020, 21:13 WIB
Refly Harun /Instagram/ Refly Harun

PR BEKASI – Din Syamsudin, Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM), sebelumnya menyatakan bahwa saat ini ada gejala Indonesia menjadi negara diktator konstitusional.

Menurutnya, tolak ukur negara diktator konstitusional adalah sikap kukuh pemerintah terhadap masukan atau kritik masyarakat atas kebijakannya.

Hal itu tercermin dalam penolakan revisi UU KPK, desakan penundaan Pilkada serentak, Revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba) dan teranyar UU Omnibus Law oleh rakyat yang tidak didengarkan pemerintah.

Baca Juga: Sempat Tertunda, Persidangan Perdana Djoko Tjandra Akan Dilaksanakan pada 2 November 2020 Mendatang

Menanggapi hal tersebut, Refly Harun berkomentar hal serupa bahwa ada kecenderungan rezim Jokowi-Ma’ruf bersikap secara otoriter. Komentar tersebut ia tuturkan melalui kanal YouTube miliknya pada Sabtu, 24 Agustus 2020.

"Saya tidak membantah ada kecenderungan itu (diktator). Yang paling nyata adalah penggunaan secara masif undang-undang ITE untuk membungkam sikap kritis siapa pun," kata Refly Harun.

Dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com, Refly Harun menuturkan bahwa UU ITE digunakan untuk membungkam sikap kritis terhadap pemerintah. UU ITE dijadikan alat untuk memenjarakan orang-orang yang menolak kebijakan pemerintah.

Baca Juga: Ada Kecenderungan Diktatorship di Rezim Jokowi, Refly: Jika Din Syamsuddin Ditangkap, Benar Adanya

"Undang-Undang ITE itu (digunakan) untuk menghantam, untuk memenjarakan siapapun yang tidak sepakat dengan pemerintahan,” ucapnya.

Refly Harun juga menilai bahwa penggunaan UU ITE untuk membungkap sikap kritis sama dengan mencederai kebebasan berpendapat. Menurutnya, hal ini merupakan cerminan negara otoriter.

“Kalau kita menjadi sama maka Negara kita adalah Negara yang gelap Negara yang otoriter negara yang tidak lagi menghargai perbedaan pendapat."

Baca Juga: Tak Puas dengan Penjelasan Menaker Mengenai UU Cipta Kerja, SPSI: Transparansi yang Dibutuhkan

Selain itu, ia menjelaskan bahwa kecenderungan sikap diktator rezim Jokowi-Ma’ruf tercermin melalui substansi konstitusi yang tidak berjalan.

"Jadi konstitusional diktatorship itu adalah prosedur-prosedur sumber konstitusi itu dipakai. Tapi, hanya prosedurnya saja, substansinya tidak," katanya.

Refly Harun juga mengungkapkan kekhawatirannya jika kebijakan rezim Jokowi-Ma’ruf ke depan tidak membawa semangat reformasi. Menurutnya, hal itu sama dengan kembali ke masa otoriter.

Baca Juga: Saudi Berikan Jutaan Dolar untuk Percepat Normalisasi Sudan dengan Israel

"Saya tidak ingin masa itu terulang kembali pada era saat ini terutama era pemerintahan Jokowi dan jangan sampai presiden Jokowi justru meninggalkan warisan sebagai pemimpin yang menggerakkan kembali ilham otoritarianisme di negara ini," tuturnya.

Refly Harun mengungkap bahwa menjalankan demokrasi di Indonesia tidak mudah. Demokrasi baru berjalan setelah menempuh jalan yang sulit, yakni reformasi pada tahun 1998, yang mengorbankan air mata dan darah manusia.

"Membangun demokrasi ini tidak mudah penuh dengan darah dan air mata dan juga korban nyawa dari syuhada syuhada reformasi tahun 98," katanya.***

Editor: Puji Fauziah

Tags

Terkini

Terpopuler