Viral Video 'Serangan' ke Tri Rismaharini, Pusham: Ini Termasuk Ujaran Kebencian

- 27 November 2020, 18:50 WIB
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. /Humas Kota Surabaya/

PR BEKASI – Video viral yang memperlihatkan sejumlah pendukung salah satu peserta pilkada Kota Surabaya yang sedang menyanyikan yel-yel menjelekkan pada Wali Kota, Surabaya Tri Rismaharini dikatakan dinilai termasuk dalam ujaran kebencian.

Menurut peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Puham) Universitas Surabaya Dian Noeswantari, ujaran kebencian ini telah dimuat dalam Pasal 19 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015.

Dia menjelaskan, bila ujaran kebencian ini dibiarkan terus berlangsung, maka akan mengarah pada tindak pidana kebencian.

Baca Juga: Habib Rizieq Masuk Bursa Capres 2024, Begini Ternyata Rencana FPI dalam Mempersiapkan Pilpres 2024

"Ujaran kebencian ini jika dibiarkan terjadi terus-menerus, akan bertumbuh menjadi kejahatan yang tergolong dalam tindak pidana kebencian, yang masih belum ada kodifikasinya dalam sistem hukum di Indonesia," katanya di Surabaya, Jumat, 27 November 2020, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

Diketahui, Video berdurasi 19 detik yang menampilkan sejumlah pendukung Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Machfud Arifin dan Mujiaman menyanyikan yel-yel "Hancurkan Risma" viral di media sosial.

Menurutnya, video itu menunjukkan telah terjadi ujaran kebencian yang dilakukan pendukung Machfud Arifin terhadap Tri Rismaharini.

Baca Juga: Cek Fakta: Jokowi dan Ahok Dikabarkan Masuk Daftar 5 Besar Pemimpin Ditakuti Dunia

Dalam Pasal 19 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, kata dia, diatur sejumlah hal, yakni: pertama, setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.

Kedua, setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi dan hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, tanpa memandang batas negara, baik secara lisan, tertulis atau cetak, dalam bentuk seni, maupun melalui media lain yang dipilihnya.

Ketiga, pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat (2) pasal ini disertai dengan tugas dan tanggung jawab khusus.

Baca Juga: Arie Kriting Ungkap Kekesalannya Usai Sufmi Dasco Sebut Kasus Edhy Prabowo Adalah Musibah

"Oleh karena itu, pelaksanaan hak ini tunduk pada batasan tertentu, sebagaimana ditentukan oleh hukum dan harus menghormati hak atau reputasi orang lain, melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, atau moral masyarakat," kata Dian Noeswantari.

Merefleksi pada kejadian apartheid di Afrika Selatan dan tindak pidana genosida Rwanda, kata dia, maka tindak kejahatan demikian diawali dengan berbagai peristiwa yang mengarah pada hatred yang bereskalasi menjadi hate crimes.

"Hal itu memuncak pada terjadi tindak pidana rasial atau apartheid di Afrika Selatan dan tindak pidana kejahatan atas kemanusian, genosida di Rwanda," kata anggota SEPAHAM Indonesia (Serikat Pengajar/Peneliti HAM) tersebut.

Baca Juga: Bandingkan Korupsi e-KTP dan KKP, Refly Harun: Kasus Kecil Diuber-uber karena Ada Target Politiknya

Oleh karena itu, lanjut dia, aparat kepolisian perlu bertindak cepat agar tidak terjadi kejadian serupa di Afrika Selatan atau Rwanda.

Menurut dia, meskipun kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin oleh Negara, pelaksanaannya tetap harus menghormati hak atau reputasi orang lain, serta melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan, atau moral masyarakat.

"Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang multikultur, pemerintah dan aparat kepolisian perlu bertindak cepat dan tegas untuk menangani ujaran demikian agar tidak meluas dan menjadi tindak pidana kejahatan ujaran kebencian." katanya.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x