Tahun Depan Mahfud MD Akan Gencarkan Polisi Siber, Refly Harun: Aparat Tidak Perlu Menghibur Konflik

- 27 Desember 2020, 21:49 WIB
Refly Harun mempersoalkan rencana Menko Polhukam RI, Mahfud MD yang akan mengaktifkan polisi cyber di 2021.
Refly Harun mempersoalkan rencana Menko Polhukam RI, Mahfud MD yang akan mengaktifkan polisi cyber di 2021. /Luqman Hakim/ANTARA

PR BEKASI - Pakar hukum tata negara Refly Harun mengkritik rencana Menko Polhukam Mahfud MD yang akan memasifkan kegiatan polisi siber di tahun 2021.

"Serangan digital memang dilematis, tetapi kami sudah memutuskan ada polisi siber. Tahun 2021 akan diaktifkan sungguh-sungguh karena terlalu toleran juga berbahaya," ujar Mahfud MD.

Refly Harun mengaku tidak setuju dengan rencana Mahfud MD tersebut.

Menurutnya, rencana itu justru akan menjadi bumerang bagi nilai demokrasi di Indonesia.

Baca Juga: Menghinakan! Viral Video Diduga Netizen Malaysia Doakan Jokowi Mati Hingga Hina Lagu Indonesia Raya 

"Saya sebenarnya berharap Mahfud MD menjadi orang yang menjaga demokrasi di pemerintahan, bukan justru mengancam demokrasi di pemerintahan," ucapnya.

Refly Harun pun menyinggung soal kasus-kasus belakangan yang menurutnya hanya sebatas kritik namun tetap saja ada oknum yang melaporkan lantaran tidak terima.

"Kenapa kita terlalu peduli dengan kritik, hinaan, ujaran kebencian di dunia media sosial padahal itu kan tidak menyentuh," tuturnya seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Refly Harun, Minggu, 27 Desember 2020.

"Negara tidak boleh campur tangan dalam konflik masyarakat, sebagai contoh misalnya, apa yang dilakukan kemarin (Said Didu), ada pejabat yang dihina, lalu setelah itu ada yang mengadukannya kepada polisi," sambungnya.

Baca Juga: Kritik 'Optimisme' Sandiaga Uno tentang Parekraf, Gus Umar: Untung Orang Ini Enggak Jadi Wapres 

Seharusnya, menurut Refly Harun, polisi juga tidak perlu menanggapi laporan-laporan semacam itu karena bersifat individual.

"Polisi tidak perlu menghibur konflik sesama individu beserta pelapornya, walaupun yang bersangkutan adalah pejabat, justru karena yang bersangkutan adalah pejabat maka seharusnya mereka bisa terima dengan kritikan seperti itu, karena mereka dibayar oleh negara," ucapnya.

Jadi, tutur Refly, hal semacam itu bisa diselesaikan secara personal, secara perdata, dan tidak perlu melibatkan aparat keamanan.

Kalaupun nantinya aparat keamanan menerima laporan seperti itu, Refly berharap aparat bisa mengatakan, "Silakan anda berekonsiliasi kalau tidak gugat secara perdata saja."

Baca Juga: Menag Siap 'Lindungi' Ahmadiyah dan Syiah, Marzuki Alie: Kita Habis Waktu, Hanya Buat Kegaduhan Saja 

"Jangan menggunakan tangan negara, kecuali itu sudah terkait dengan negara dan kepentingan masyarakat banyak, tetapi kepentingan masyarakat banyak yang ada justifikasinya," tuturnya.

Menurutnya, jika konfliknya hanya sebatas antarindividu atau antarkelompok masyarakat, seharusnya tangan negara tidak perlu ikut campur.

"Karena kalau tangan negara ikut-ikutan dalam hal seperti itu, maka yang terjadi adalah, negara bisa digunakan oleh satu kelompok masyarakat untuk menghantam kelompok masyarakat lainnya," ucapnya.

Refly Harun pun mengambil contoh kasus yang baru saja terjadi soal mimpi Haikal Hassan yang dilaporkan oleh seseorang.

Baca Juga: Varian Baru Covid-19 Terus Menyebar, Swedia Laporkan Kasus Pertama dari Pelancong asal Inggris 

"Harusnya ditanya, sang pelapor kepentingannya apa melaporkan, apakah ini ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat banyak, jangan sampai kemudian diklaim seenaknya tentang apa kerugian yang dia alami," ungkapnya.

Pelaporan tersebut menurutnya bersifat sangat subjektif,karena sang pelapor akan mengklaim dengan tujuannya masing-masing.

"Kalau sifatnya individual yaudah selesaikan saja secara individual, karena kalau kita klaim bahwa ini adalah mewakili masyarakat, masyarakat mana yang diwakili, akhirnya subjektif sekali," kata Refly Harun.

Refly Harun pun mengingatkan kepada Mahfud MD jangan sampai kemudian rencana penguatan polisi siber ini justru malah merusak ruang demokrasi.

Baca Juga: Ditumbuhi Banyak Pohon Cemara, Densus 88 Temukan Villa Tempat Pelatihan Teroris JI di Jawa Tengah 

"Karena kalau kita mau jujur, seperti yang terbukti misalnya, dengan kasus-kasus mereka-mereka yang ditangkap semuanya masih dalam toleransi perbedaan pendapat, misalnya para aktivis KAMI," ucapnya.

Ia menilai semua apa yang dilontarkan para aktivis KAMI itu adalah sebuah pendapat yang merupakan bagian dari ruang demokrasi.

"Tapi yang terjadi adalah negara menggunakan kewenangannya untuk mempidanakan mereka. Kalau negara sudah menggunakan kewenangannya untuk mempidanakan ya berat memang, sangat berat," ujarnya.

Refly Harun menyampaikan jika memang terjadi konflik antarindividu atau kelompok masyarakat sebaiknya diselesaikan secara perdata jika mekanisme maaf-memaafkan tidak memungkinkan dilakukan.

Baca Juga: Varian Baru Covid-19 Bawa Berkah, Perusahaan Inggris Jual 'Udara' di Kemasan Botol Seharga Rp477.000 

"Jadi tempuh dulu mekanisme somasi, misalnya menyampaikan permohonan maaf dan lain sebagainya, kalau itu tidak tercapai, ya lakukan gugatan secara perdata, jangan kemudian justru menggunakan tangan negara," ungkapnya.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: YouTube Refly Harun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah