Moeldoko menjelaskan, sikap waspada dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, adalah membangun kewaspadaan yang dibangun untuk menenteramkan, dan kedua, kewaspadaan yang menakutkan.
"Bedanya disitu. Tinggal kita melihat kepentingannya. Kalau kewaspadaan itu dibangun untuk menenteramkan maka tidak akan menimbulkan kecemasan. Tapi kalau kewaspadaan itu dibangun untuk menakutkan, pasti ada maksud-maksud tertentu," tutur Moeldoko.
Maka dari itu, pilihan-pilihan itu tergantung dari seorang pemimpin.
"Nah! Itu pilihan-pilihan dari seorang pemimpin. Kalau saya, memilih kewaspadaan untuk menenteramkan. Yang terjadi saat ini, menghadapi situasi saat ini apalagi di masa pandemi, membangun kewaspadaan yang menenteramkan adalah sesuatu pilihan yang bijak," ujar Moeldoko.
Baca Juga: Cek Fakta: Keluarga yang Miliki BPJS Dikabarkan Akan Dapat BLT Sebesar Rp4 Juta per anggota
Selama ini Moeldoko melihat, narasi kewaspadaan yang dibangun dalam isu kebangkitan PKI, lebih berada pada kepentingan pribadi.
Meski dia mengapresiasi langkah Gatot dalam mengajak masyarakat untuk waspada terhadap kebangkitan PKI. Alangkah baiknya, jika keawaspadaan itu tidak meneror publik.
"Saya melihat lebih cenderung ke situ. Kita ini mantan-mantan prajurit, memiliki DNA yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang. DNA intelejen, DNA kewaspadaan, DNA antisipasi, dan seterusnya. Saya tidak ingin menyebut nama, tetapi kan tujuannya membangun kewaspadaan. Kewaspadaan kita bangun untuk menenteramkan keadaan. Bukan malah untuk menakutkan. Bedanya di situ," tutur Moeldoko.
Baca Juga: Berlangsung di Tengah Pandemi, Jokowi: Mari Kita Hadapi Covid-19 dengan Kesaktian Pancasila
Menurutnya, para prajurit selalu terikat sapta marga dan sumpah prajurit. Akan tetapi, jika prajurit tersebut sudah menjadi purnawirawan, ia bisa mempunyai pilihan masing-masing dan kepentingan masing-masing.