Kesejahteraan Buruh Terganggu, Catat UU Ketenagakerjaan vs UU Cipta Kerja Terkait Cuti dan Istirahat

- 6 Oktober 2020, 20:41 WIB
Ilustrasi buruh yang melakukan aksi demo.
Ilustrasi buruh yang melakukan aksi demo. /KSPI

PR BEKASI - Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja telah resmi disahkan pada 5 Oktober 2020 di rapat Paripurna DPR.

UU Cipta Kerja ditengarai merubah dan disebut melengkapi UU Ketenagakerjaan. Beberapa pasal yang diubah menjadi sorotan para buruh.

Termasuk tentang aturan waktu istirahat dan cuti. Berikut adalah 6 perbedaan pada Undang-undang Ketenagakerjaan dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di topik waktu istirahat dan cuti.

Baca Juga: 58 Orang di DPR Positif Covid-19, Wakil Ketua: Alasan Kami Percepat Rapat Paripurna, Supaya Reses 

Istirahat Mingguan

Pada UU Ketenagakerjaan pasal 79 ayat 2 b UU No.13/2003 (UUK) menyebutkan:

Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.

Pada UU Cipta Kerja, aturan 5 hari kerja itu dihapus. Sehingga berbunyi: Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu. 

Istirahat Panjang

Pasal 79 Ayat 2.d UUK menyatakan:

Istirahat panjang sekurang-kurang 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja / buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja / buruh yang berhak lagi utas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan terus bekerja untuk setiap kelipatan masa kerja (enam) tahun.

Pada UU Cipta Kerja, menyerahkan regulasi yang terkait hak cuti panjang kepada perusahaan.

UU Cipta Kerja pun tidak mencantumkan hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus dan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau perjanjian kerja sama yang telah disepakati.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Resmi Disahkan, Pengusaha Harap Target Lapangan Kerja Tercapai 

Cuti Haid

Pasal 81 UU Ketenagakerjaan mengatur pekerja/buruh perempuan bisa memperoleh libur pada saat haid hari pertama dan kedua pada saat haid.

Pada UU Cipta Kerja, menjadi tidak mencantumkan hak cuti haid bagi perempuan UU Cipta Kerja tidak menuliskan hak cuti haid di hari pertama dan kedua masa menstruasi yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Cuti Hamil- Melahirkan

Pasal 82 UU Ketenagakerjaan mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan. Di dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/ buruh perempuan yang mengalami keguguran.

Pada UU Cipta Kerja tidak mencantumkan penghapusan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut.

Baca Juga: Muak dengan Kinerja DPR yang Sahkan UU Cipta Kerja, Warganet Berharap Bisa Gabung Sunda Empire 

Hak untuk Menyusui

Pasal 83 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja/ buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu bekerja.

Pada, UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasaan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut.

Cuti Menjalankan Ibadah Keagamaan

Pasal 80 UU Ketenagakerjaan menyatakan: Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pada UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasaan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut.

Meski demikian pada pasal 153 ada aturan yang mengatakan pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan pekerja dengan alasan: Menjalankan Ibadah, hamil, melahirkan, keguguran atau menyusui anaknya.***

Editor: M Bayu Pratama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x