Pakar Kesehatan Ungkap Obat Antidiabetes Berpeluang Mengurangi Angka Kematian Pasien Gagal Jantung

29 September 2020, 11:10 WIB
Ilustrasi obat-obatan. /pexels/cottonbro /

 

PR BEKASI - Obat antidiabetes ternyata mempunyai peluang mengurangi angka kesakitan dan kematian pasien gagal jantung.

Hal ini dikatakan oleh pakar kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Ketut Suasti dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 29 September 2020 pada perayaan Hari Jantung Sedunia 2020

Menurutnya, obat ini berasal dari golongan SGLT2 yakni Empagliflozin yang bekerja mengeluarkan kelebihan garam melalui ginjal, sembari memperbaiki tekanan darah, mengurangi kegemukan dan menekan peradangan.

Baca Juga: Manjakan Otaku, Pengusaha Jepang Ini Jual Pengharum Ruangan Beraroma 'Gadis Sekolah' secara Daring

"Semua itu semua berkontribusi pada perbaikan gejala gagal jantung, baik pada pasien diabetes maupun nondiabetes,” kata Suastika, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari situs berita Antara.

Uji klinis EMPEROR-Reduced Fase III Boehringer Ingelheim baru-baru ini menunjukkan penurunan rawat inap pasien gagal jantung sebesar 25 persen dengan dan tanpa diabetes tipe 2 yang diberikan Empagliflozin. Hasil ini serupa dengan uji klinis EMPA-REG OUTCOME.

Dengan adanya temuan ini, Wakil presiden Clinical Development & Medical Affairs, Cardio-Metabolism & Respiratory Medicine, Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals, Inc, Mohamed Eid menyatakan temuan ini sebagai kemajuan dalam bidang kesehatan.

Baca Juga: Acara KAMI di Jatim Dibubarkan Polisi, Din Syamsudin: Itu Bukan Acara Deklarasi, Tapi Silaturahmi

"Dengan hasil positif dari uji coba EMPEROR-Reduced ini, kami bersemangat untuk menandai kemajuan penting lainnya untuk Jardiance (Empagliflozin),” ujarnya dalam sebuah pernyataan.

Menanggapi temuan ini, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Siti Elkana Nauli mengatakan, belum tahu bagaimana SGLT2 bisa menghambat proses terjadinya gagal jantung.

Walaupun menawarkan peluang untuk indikasi kardiovaskular, saat ini obat antidiabetes Empagliflozin belum diindikasikan untuk pengobatan gagal jantung karena perlu ada persetujuan dari otoritas lokal termasuk di Indonesia.

Baca Juga: Dapat Korbankan Penyelenggara Pemilu, DKPP Imbau Parpol Tertibkan Administrasi Silon dan Sipol

Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada Mei lalu menyetujui obat untuk diabetes lain yakni dapagliflozin (Farxiga, AstraZeneca) untuk mengobati gagal jantung dengan mengurangi fraksi ejeksi (HFrEF) pada orang dewasa dengan dan tanpa diabetes tipe-2.

Obat ini juga diketahui menurunkan risiko kematian dan juga mengurangi jumlah pasien rawat inap akibat gagal jantung.

Gagal jantung terjadi saat fungsi jantung dalam memompa darah tidak berjalan maksimal. Darah yang dipompa tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan seluruh jaringan tubuh.

Baca Juga: Meski Baru Temukan Gas Fosfin, Rusia Klaim Kepemilikan Venus secara Sepihak

Akibatnya, muncul keluhan pada penderita seperti mudah lelah dan sesak napas saat beraktivitas. Derajat beratnya gejala ini tergantung pada tahapan gagal jantung yang terjadi.

Penelitian perhimpunan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Indonesia melalui registrasi data pasien jantung pada tahun 2017 sampai sekarang menunjukkan, dari sekitar 2000 pasien gagal jantung, penyebab terbanyak yakni hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes.

Dari sisi angka kesakitan, pasien gagal jantung disebut memiliki tingkat kesakitan dan kematian yang tinggi. Siti mengatakan, angka harapan hidup pasien selama lima tahun hanya sekitar 50 persen.

Baca Juga: Tak Ingin Ulang Kejadian Sama, Hong Kong Larang Demonstrasi di Hari Kemerdekaan Tiongkok

"Angka harapan hidupnya selama lima tahun hanya sekitar 50 persen saja. Untuk pasien rawat inap, angka kematiannya bahkan lebih tinggi lagi, yakni 17-20 persen akan meninggal dalam waktu 30 hari dirawat,” kata Siti.

Biaya pengobatan dan perawatan pasien gagal jantung sangat tinggi, salah satunya karena mereka harus dirawat di rumah sakit berulang-ulang saat gejala memburuk.

“Semakin sering pasien dirawat di rumah sakit, maka pengobatan menjadi lebih sulit dan komplikasi semakin banyak. Bahkan pasien bisa resisten dengan pengobatan dan akhirnya jatuh pada gagal jantung tahap akhir,” kata dr. Siti.

Baca Juga: Resesi Hantui Ekonomi Indonesia, BI: Jangan Wariskan Generasi Berikutnya APBN yang Diisi Utang

Oleh karena itu, menurut Siti, pengendalian faktor risiko ini melalui pemilihan terapi yang tepat dan agresif perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya gagal jantung.

Di sisi lain, terapi agresif dengan tujuan memperbaiki kualitas hidupnya akan mencegah perawatan rumah sakit berulang.

Saat ini, terapi standar untuk gagal jantung antara lain obat-obatan, pemasangan alat di jantung dan transplantasi jantung.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler