Artinya, “Dekat dengan laknat adalah mendoakan keburukan untuk orang, termasuk mendoakan orang yang berbuat zalim, seperti doa seseorang, ‘Semoga Allah tidak menyehatkan badannya,’ ‘Semoga Allah tidak memberikan keselamatan untuknya,’ atau doa keburukan sejenisnya karena semua itu adalah perbuatan tercela. Dalam hadist disebutkan, ‘Sungguh, orang yang teraniaya mendoakan keburukan untuk orang yang menganiaya sampai lunas terbayar, tetapi yang tersisa kemudian adalah kelebihan hak orang yang berbuat aniaya atas orang yang teraniaya pada hari kiamat,’” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’i Ulumiddin, [Kairo, Darus Syi‘ib: tanpa catatan tahun], juz IX, halaman 1569).
Imam Al-Ghazali mengkhawatirkan doa yang kita ucapkan telah melewati batas.
Terlebih lagi, doa orang yang teraniaya diterima doa-nya oleh Allah SWT. Karena melewati batas kezaliman penganiayanya, orang yang awalnya terzalimi melalui doanya yang berlebihan berubah status menjadi orang yang zalim terhadap mereka yang semula menzaliminya.
Baca Juga: Ajak Dunia Maknai Kebangkitan Tiongkok, Megawati Ungkap Indonesia-Tiongkok Miliki Takdir yang Sama
Lalu lewat karyanya yang lain Kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan hal serupa.
Penganiayaan dan kezaliman oleh siapa pun dan melalui apa pun (doa misalnya) adalah tindakan terlarang dalam Islam meski dilakukan oleh orang yang semula terzalimi dan teraniaya.
Tindakan adil adalah tuntutan terhadap umat Islam dalam bersikap meski dalam kondisi marah dan kecewa. Mendoakan kebinasaan atas diri orang lain yang melampaui batas adalah bentuk kezaliman baru terlebih penganiayaan dan kezaliman yang dimaksud masih bersifat asumsi dan dugaan semata.***