Sebelum Islam Masuk, Babi Jadi Konsumsi 'Daging Tak Biasa' Keraton Majapahit

10 Mei 2021, 18:13 WIB
Ilustrasi - babi pernah menjadi sumber protein hewani bagi masyarakat nusantara /Pixabay

PR BEKASI - Ahli Sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid menjelaskan dalam kurun niaga 1450-1680 Jilid dua, pantangan makan daging babi adalah isyarat pertama yang paling mencolok jika seseorang taat pada Islam.

Beberapa jenis babi purba diketahui telah ada di Nusantara sejak ratusan ribu tahun lalu, termasuk sebagai salah satu makanan berprotein hewani pada masa Keraton Majapahit.

Seperti di Sangiran, jenis Sus macrognathus, Sus brachygnathia, Sus terhaari, dan Sus stremmi ditemukan dalam bentuk fosil di lapisan kabuh yang berusia sekitar 780.000 tahun.

Baca Juga: HRS Mengaku Tak Tahu Soal Kewajiban Karantina: Kalau Tahu, Pasti Saya Batalkan Acara Maulid dan Pernikahan 

Temuan fosil itu biasanya berupa fragmen gigi dan fragmen tulang kaki.

Citra dan fosilnya juga ditemukan di dinding goa di Maros, Sulawesi Selatan. Salah satunya di Leang Pattae Kere, yaitu gambar babi rusa yang bercampur dengan lukisan cap tangan.

Babi diketahui sudah diternak paling tidak sejak 3.500-4.000 tahun yang lalu di Indonesia. Babi juga terpahat dalam panil relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur.

"Masyarakat Jawa pada masa itu mungkin telah terbiasa beternak babi," tulis Kresno Yulianto Sukardi, seorang arkeolog Universitas Indonesia.

Baca Juga: Pendeta SAE Nababan Meninggal Dunia, Anies Baswedan: Bangsa Ini Kehilangan Tokoh Reformasi yang Gigih 

Babi pada zaman dahulu di Indonesia, kata Reid, merupakan daging yang paling banyak tersedia selain ayam dan kerbau.

"Babi adalah pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging. Ia merupakan sumber utama daging di daerah di mana Islam belum masuk," ucapnya seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Historia, Senin, 10 Mei 2021.

Bahkan menurut kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca, pada abad ke-14 disebutkan bahwa jenis daging yang dihidangkan di Keraton Majapahit adalah babi liar selain daging domba, kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek.

Baca Juga: Kutuk Keras Tindakan Israel Terhadap Warga Palestina, Jokowi: Indonesia Akan Selalu Mendukung Palestina 

Menurut berbagai data prasasti, babi juga termasuk dalam daging yang sering dikonsumsi di antaranya babi ternak (celeng) dan babi hutan (wok).

Pada masa Jawa Kuno, kata Reid, agama telah membatasi masyarakat dalam kehidupan sosial. Namun, tak berlaku ketat dalam hal makanan.

Dalam Nagarakretagama, tercatat adanya konsumsi daging yang “tak biasa” di Keraton Majapahit. Hidangan itu tidak dihidangkan kepada orang yang taat pantangan Hindu.

“Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, ikan, telur, domba, menurut adat agama dari zaman purba, makanan pantangan: daging anjing, cacing, tikus, keledai, dan katak. Jika dilanggar, mengakibatkan hinaan musuh, mati, dan noda,” tulis Mpu Prapanca.

Baca Juga: Sebut PKI Terlihat Jelas dari Jokowi Usai Promosikan Babi Panggang, Gus Najih: Innalillahi 

Makanan pantangan pun tetap disajikan bagi yang menyukainya dan rupanya digemari rakyat biasa

“Karena asalnya dari berbagai desa. Mereka diberi kegemaran biar puas,” kata Prapanca lagi.

Tak heran, ucap Reid, jika kemudian kebiasaan makan babi menjadi hambatan utama masuk Islam. Itu sudah menjadi kejadian umum di Asia Tenggara.

"Babi adalah sumber daging utama dan unsur utama dalam upacara," sebut Reid.

Baca Juga: 49 Tahun Sebagai Muslim, Ahmad Dhani Baru Sadar Jadi Istri dalam Islam Tidaklah Mudah 

Islam mengharuskan perubahan dalam hal makanan, pakaian, dan gaya rambut. Karenanya agama Islam sering dilihat sebagai perubahan status etnik.

"Meninggalkan babi menjadi satu ciri masuknya Islam masyarakat Nusantara, selain menyunat dan meninggalkan berhala," ujar Reid.

Dalam Hikayat Patani dari awal abad ke-16, misalnya disebutkan penguasa Patani Thailand telah menerima Islam.

Hikayat itu menyinggung zaman raja berikutnya, yang membangun masjid pertama, penduduk kota telah dengan mudah meninggalkan kebiasaan makan babi dan benda pemujaan tetapi tetap menyembah pohon, batu, dan roh.

Baca Juga: Diklaim Terbukti 100 Persen Mampu Bunuh Covid-19, Pakar Sarankan Warga Salat Id Terkena Paparan Sinar Matahari 

Pinto, penjelajah Portugis pada 1578, menyebut raja-raja Aceh dan Demak sebagai pahlawan anti-kafir. Dikatakan kalau Pahang tak akan membiarkan orang Portugis dimakamkan di daratan.

“Tanah akan menjadi terkutuk dan tidak ada yang bisa tumbuh lagi karena mayat-mayat belum dibersihkan dari daging babi yang banyak dimakan,” kata Reid.

Pada abad ke-16 pun, orang Makassar terkenal menolak Islam karena babi merupakan sumber daging mereka.

Reid menjelaskan, menurut cerita setempat dari Bulo-bulo di daerah Sinjai, distrik ini sempat diajak menerima Islam dengan ancaman perang oleh raja Makassar pada abad ke-17.

Baca Juga: Unggah Foto Kenakan Sarung dan Peci, Millen Cyrus: Bangga Sama Diri Aku 

Seorang penguasa terkemuka setempat pun menantang kalau dia tidak akan memeluk Islam meski sungai penuh dengan darah. Itu selama masih ada babi yang bisa dimakan di hutan Bulo-bulo.

Setelah Islam masuk, anjing bersama babi, kodok, dan ular kemudian dipandang sebagai hewan yang haram untuk dimakan.

Sekalipun begitu, bagi Reid, Islam adalah agama egaliter karena bisa lebih efektif menerapkan larangan-larangannya.

"Terlepas dari popularitas daging babi, semangat pantang bagi orang Islam dalam menghindarinya tampaknya cukup meyakinkan banyak orang yang bukan Islam bahwa daging babi pastilah mengandung sesuatu yang buruk," kata Reid.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Historia.id

Tags

Terkini

Terpopuler