“Pada tahun yang sama, publik kembali dihebohkan oleh kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang laki-laki pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dilakukan oleh rekan kerjanya yang juga sesama laki-laki.
“Delapan orang pelaku dipecat karena kasus tersebut. Sementara itu, korban masih menjalani proses penyembuhan dari depresi akut,” ujarnya.
Ironisnya saat perempuan dan anak-anak sudah punya saluran untuk berlindung, hal ini tidak terjadi pada lelaki.
“Budaya maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang dilahirkan oleh masyarakat patriarki diyakini menjadi tabunya kenyataan bahwa laki-laki dapat menjadi korban kekerasan seksual.
“Budaya patriarki membangun konstruksi bahwa laki-laki merupakan sosok yang kuat, dominan, serta memiliki posisi tawar (bargaining position) dan kuasa (power) yang lebih atas perempuan, sehingga mustahil mengalami kekerasan seksual,” katanya.
Baca Juga: Ustaz Abdul Somad Ceritakan Kronologi Isu Dideportasi dari Singapura: Sudah Dapat Izin Masuk
Penyebabnya adalah para lelaki dianggap memiliki kekuatan lebih sehingga dianggap tidak mungkin menjadi korban terlebih oleh pelaku perempuan.
Hal itu membuat mereka mendapat stigma seperti “payah”, kurang macho”, dan sebagainya saat mereka akan bicara seputar kekerasan seksual.
Rendahnya pengaduan oleh lelaki bukan berarti kasus pada mereka tidak terjadi begitu saja, dikutip Pikiran-rakyat.Bekasi.com dari laman The Conversation.