Jelang Bulan Ramadhan, Sejumlah Masjid di Prancis Diserang Teror Cacian oleh Kelompok Islamofobia

13 April 2021, 04:00 WIB
Sejumlah masjid di Prancis menerima aksi teror Islamofobia, salah satunya di Rennes ketika ada coretan vandalisme jelang bulan Ramadhan. /Alerte France

PR BEKASI – Sebuah masjid dan pusat kebudayaan Islam di kota Rennes, Prancis menjadi target serangan aksi teror berupa vandalisme.

Aksi teror tersebut dilakukan oleh sekelompok orang tidak dikenal yang diduga adalah kelompok Islamofobia.

Kejadian tersebut terjadi pada Minggu, 11 April 2021 atau beberapa hari sebelum umat Muslim memasuki bulan Ramadhan.

Baca Juga: Sampaikan Kabar Baik, Yenny Wahid: Alhamdulillah, Jemmah Haji Kita jadi Prioritas Arab Saudi 

Menanggapi hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin mengatakan pemerintah telah memerintahkan pihak kepolisian untuk meningkatkan kewaspadaan di sekitar masjid dan pusat kebudayaan Islam di seluruh Prancis.

Hal tersebut merupakan bentuk antisipasi pemerintah untuk mengantisipasi aksi teror yang terus meningkat baru-baru ini di seluruh wilayah Prancis.

"Tulisan anti-Muslim yang telah tertulis di pusat budaya dan agama ini tidak dapat diterima,” katanya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Daily Sabah.

Pria yang dikenal memiliki sikap keras terhadap umat Muslim di Prancis tersebut menyatakan tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan karena mengganggu kebebasan beragama di Prancis.

Baca Juga: PBNU Tetapkan 1 Ramadhan 1442 H Jatuh pada Selasa, 13 April 2021 

“Kebebasan beribadah di Prancis adalah kebebasan mendasar yang wajib diterima seluruh warga," katanya saat berkunjung ke Pusat Kebudayaan Islam Avicenna di kota Rennes.

Gerald Darmanin mengatakan, dia mengunjungi masjid dan pusat kebudayaan Islam Avicenna tersebut untuk menunjukkan solidaritas pemerintahan Presiden Emmanuel Macron dengan komunitas Muslim Prancis.

Dewan Ibadah Muslim Prancis (CFCM) mengatakan insiden di Rennes terjadi dua hari setelah serangan pembakaran di Masjid Arrahma di Nantes.

Selain itu, jurnalis Muslim bernama Nadiya Lazzouni juga mendapatkan ancaman pembunuhan setelah dirinya menentang rencana larangan penggunaan jilbab.

Baca Juga: Warganet Kecam Pernikahan Pasangan Sesama Jenis di Thailand, Mempelai Mengaku Kebingungan 

CFCM mengatakan pemerintah Prancis harus bertanggung jawab atas meningkatnya aksi teror anti-Muslim di Prancis.

Hal tersebut menyusul maraknya perdebatan mengenai rencana pengesahan undang-undang yang tidak menguntungkan bagi umat Muslim.

Dalam sebuah pernyataan, CFCM mengatakan perdebatan itu sayangnya telah menjadi forum untuk pembenci dari semua lapisan.

Ia menambahkan bahwa slogan-slogan Islamofobia adalah bagian dari gerakan separatis yang ideologinya mengilhami Brenton Tarrant, yang menembaki dua masjid di Christchurch, Selandia Baru pada Maret 2019.

Baca Juga: Selama Ramadhan 2021, Masjid Istiqlal Tak Selenggarakan Buka dan Sahur Bersama tapi Bolehkan Tarawih 

"Separatisme ini dan mereka yang berperan penting dalam Islam saling memberi makan dan merupakan ancaman bagi negara kita dan sesama warga negara kita," kata CFCM.

“Kami memperingatkan sambil meminta umat Islam untuk waspada dan tidak terlibat dalam pertarungan yang salah,” tambah CFCM.

Serangan tersebut mengikuti RUU Islamofobia yang telah disetujui oleh Majelis Nasional Prancis pada 16 Februari 2021 yang ramai dikritik.

Karena RUU itu menargetkan komunitas Muslim dan memberlakukan pembatasan pada hampir setiap aspek kehidupan mereka.

Baca Juga: Akui Pernah Tiga Kali Lebaran di Dalam Bui, Jumhur Hidayat: Tapi Baru Kali Ini Puasa Ramadhan Tanpa Anak-Istri 

Ini mengatur untuk campur tangan di masjid dan di asosiasi yang bertanggung jawab atas administrasi mereka serta mengontrol keuangan asosiasi dan organisasi non-pemerintah (LSM) milik Muslim.

Ini membatasi pilihan pendidikan komunitas Muslim dengan mencegah keluarga memberikan pendidikan rumah kepada anak-anak.

RUU itu juga melarang pasien memilih dokter berdasarkan jenis kelamin karena alasan agama atau alasan lain serta mewajibkan "pendidikan sekuler" bagi semua pejabat publik.

Keputusan Prancis untuk melarang anak perempuan di bawah 18 tahun mengenakan simbol agama seperti jilbab di tempat umum yang memicu kampanye oposisi besar di media sosial.

Akibat hal tersebut, banyak gadis Muslim mencela pemerintah Prancis karena membatasi kebebasan dan hak mereka.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Daily Sabah

Tags

Terkini

Terpopuler