Puluhan Ribu Warga Thailand Turun ke Jalan, Tuntut Reformasi Sistem Kerajaan dan Pembebasan Aktivis

16 Oktober 2020, 06:13 WIB
Aksi unjuk rasa di Bangkok,Thailand menyuarakan reformasi monarki untuk Pemerintah Thailand. /The Guardian

PR BEKASI - Ribuan orang termasuk siswa sekolah menengah berkumpul di ibu kota Thailand, Bangkok pada Kamis, 15 Oktober 2020 menentang larangan yang diumumkan Pemerintah sebagai bagian dari tindakan keras terhadap protes pro-demokrasi.

Perdana Menteri Thailand mengumumkan keadaan darurat yang terjadi di Ibu kota semalaman.

Dikabarkan, polisi menangkap lebih dari 20 orang, termasuk pemimpin mahasiswa terkemuka yang menyerukan reformasi monarki.

Pada Kamis sore, kerumunan orang berkumpul di salah satu persimpangan tersibuk di kota itu, Ratchaprasong, mereka meneriakkan "bebaskan teman-teman kami" dan menyebut polisi sebagai "budak kediktatoran".

Baca Juga: Gagal Berlaga di GP Aragon karena Covid-19, Valentino Rossi: Padahal Saya Taat Protokol, Saya Marah 

Di bawah tindakan darurat, pertemuan lima orang atau lebih telah dilarang, seperti halnya publikasi berita atau informasi online yang dapat menimbulkan ketakutan atau mempengaruhi keamanan nasional.

Hal ini menyusul unjuk rasa besar pada Rabu, 14 Oktober 2020, Para demonstran menyerukan agar anggaran kerajaan dikurangi dan dana pribadi raja dipisahkan dari aset mahkota.

Kemudian, mereka juga menyerukan penghapusan undang-undang yang melarang kritik terhadap reformasi monarki.

Pada Kamis pagi, polisi anti-huru hara mendatangi pengunjuk rasa di luar Gedung Pemerintah, tempat mereka bermalam untuk menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-o-cha.

Baca Juga: Pembalap Pertama Positif Covid-19, Valentino Rossi Ungkap Gejalanya: Tulang Saya Seperti Tidak Rata 

“Kami tidak akan mundur. Kami tidak akan lari. Kami tidak akan pergi ke mana-mana,” kata Panupon Jadnok, salah seorang pemimpin unjuk rasa, seperti dikutip Pikirantakyat-Bekasi.com dari situs berita resmi The Guardian pada 16 Oktober 2020.

Di antara mereka yang ditangkap adalah pengacara hak asasi manusia Anon Nampa, aktivis Prasit Krutharot, dan pemimpin mahasiswa Parit Chiwarak, yang dikenal sebagai Penguin, Panusaya Sithijirawattanakul, yang dikenal sebagai Rung, dan Nutchanon Pairoj.

Sementara itu, Parit, Panusaya dan Nutchanon telah ditolak jaminannya, menurut Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand.

Menurut Human Rights Watch, tindakan darurat memungkinkan polisi menahan para pengunjuk rasa tanpa dakwaan hingga 30 hari, tanpa akses ke pengacara atau keluarga.

Baca Juga: Terbukti Bersalah atas Kepemilikan Psikotropika, Vanessa Angel Dituntut Enam Bulan Penjara 

“Hak atas kebebasan berbicara dan mengadakan pertemuan publik secara damai berada di ujung tanduk dari pemerintah yang sekarang menunjukkan sifatnya yang benar-benar diktator,” kata Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia di Human Rights Watch.

Sebelumnya, pada Rabu, 14 Oktober 2020, puluhan ribu orang turun ke jalan-jalan di Bangkok menyerukan Prayuth, yang pertama kali berkuasa selama kudeta 2014 untuk mundur dari jabatannya. Pengunjuk rasa menyatakan bahwa konstitusi baru, membebani pemilihan tahun lalu untuk mendukung kembali Prayuth.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: The Guardian

Tags

Terkini

Terpopuler