PR BEKASI – Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Yohanes Ivan Adi Kristianto, buka suara soal konflik Rusia dan Ukraina.
Dalam pengamatan peneliti UGM tersebut, efek domino konflik Rusia-Ukraina itu ternyata bisa merembet ke konflik Laut China Selatan.
Menurut peneliti UGM tersebut, mau tidak mau konflik Laut China Selatan akan berdampak pada situasi keamanan di Indonesia.
Sebelum Rusia-Ukraina, terlebih dahulu ada klaim China atas Laut China Selatan beberapa waktu yang lalu.
Baca Juga: Ramalan Zodiak Cancer, 4 Maret 2022: Kejutan yang Menyenangkan akan Menanti Anda
Wilayah tersebut sebelumnya adalah milik sejumlah negara sesuai batas masing-masing yakni China, Malaysia, Brunei, hingga Filipina.
Namun China tiba-tiba mengklaim wilayah itu adalah miliknya dengan dalih sejarah masa lalu zaman kejayaan mereka.
“Klaim” ini juga yang menjadi dasar Vladimir Putin melakukan operasi militer ke Ukraina sejak 24 Februari 2022 lalu.
Sudah banyak diketahui bahwa Ukraina dan negara yang berbatasan dengan Rusia adalah pecahan Uni Soviet.
Rusia menginginkan agar negara-negara itu tetap dalam pengaruhnya, tidak justru condong ke Barat, AS, atau bergabung ke NATO.
Yohanes Ivan Adi Kristianto yakni peneliti UGM menganggap ada efek domino berkaitan dengan konsep negara berdaulat.
“Serangan Rusia ke Ukraina dapat menciptakan efek domino berupa anggapan bahwa serangan ke negara berdaulat lainnya diperbolehkan,” kata Yohanes, dikutip Pikiran-rakyat.Bekasi.com dari The Conversation.
“Bila invasi Rusia “dimaklumi”, contoh efek domino yang bisa terjadi adalah pemakluman agresivitas Cina atas Laut Cina Selatan yang bisa berdampak pada keamanan Indonesia,” tuturnya.
Berkaitan dengan potensi konflik di Laut China Selatan tersebut, Indonesia dan negara Asia Tenggara lain perlu bersiap dengan konflik tanpa Amerika Serikat (AS).
“Apa yang terjadi di Ukraina pastinya sangat berpengaruh bagi situasi politik AS. Partai Republik mengkritik keras langkah Rusia, namun juga mengeluhkan sikap Presiden AS, Joe Biden, yang hanya mengeluarkan pernyataan ancaman sanksi ekonomi tanpa diiringi tindakan nyata.
“Sikap politik luar negeri AS dalam konflik ini perlu dimaknai sebagai pragmatisme Biden semata, yang memperlihatkan bahwa tidak ada jaminan AS akan benar-benar melindungi suatu negara dari gangguan negara rivalnya, seperti Ukraina dari gangguan Rusia,” kata Yohanes.***