PDIP Sebut Gibran Politikus Instan, Arief Munandar: Terlihat Ada Gesekan antara Megawati dan Jokowi

30 Maret 2021, 21:48 WIB
Sosiolog Arief Munandar buka suara soal Gibran yang disebut politikus instan oleh Effendi Simbolon. /Instagram.com/bangariefm/ /

PR BEKASI - Sosiolog Arief Munandar turut mengomentari Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang disebut oleh politikus PDIP, Effendi Simbolon sebagai politikus instan.

Effendi Simbolon mengakui bahwa Putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran sebagai politikus fast growing atau instan. Berbeda dengan Puan Maharani yang telah berproses sebagai politisi sejak kuliah.

Menanggapi hal tersebut, Arief Munandar pun mengaitkannya dengan gesekan yang terjadi antara Megawati Soekarnoputri dan Jokowi.

Dirinya melihat bahwa kekisruhan yang terjadi belakangan yang kerap melibatkan kubu PDIP dan Istana menandakan adanya gesekan antara Megawati Soekarnoputri dan Jokowi.

Baca Juga: Said Aqil: Ajaran Wahabi dan Salafi Pintu Masuk Terorisme

Baca Juga: Jokowi Tegas Tolak Kepulangan WNI Anggota ISIS, Ferdinand Hutahaean: Biarkan Mereka Mati di Sana

Baca Juga: [Hoaks atau Fakta] Kuota Haji Indonesia Tahun 2021 Dikabarkan Capai 64 Ribu, Ini Faktanya

"Mau tidak mau terlihat adanya semacam gesekan atau kompetisi antara Teuku Umar dengan Istana, Teuku Umar ini adalah tempat kediamannya Megawati, sementara Istana ini adalah simbol tempat kediamannya Jokowi," ucapnya.

Gesekan tersebut, kata Arief, salah satunya adalah Jokowi yang berkali-kali disebut oleh Megawati sebagai petugas partai PDIP.

"Akhirnya kita melihat memang walaupun Jokowi berkali-kali oleh Megawati disebut sebagai petugas partai, tapi kan kita gak boleh lupa ya, pak Jokowi ini datang tidak dari PDIP, dia ini migran ya, mengalami migrasi ke dalam PDIP," tuturnya.

Arief Munandar menjelaskan bahwa Jokowi sebelumnya bukanlah orang PDIP, bahkan bukan juga kader PDIP. Jokowi, ungkapnya, dipinang, diusung, dan didorong oleh PDIP untuk menjadi calon presiden pada tahun 2014.

Dalam kondisi seperti ini, kata Arief Munandar, walaupun Jokowi diposisikan sebagai petugas partai dan berkali-kali Megawati mengingatkan hal tersebut.

Namun pada akhirnya, menurutnya, publik mau tidak mau, hari demi hari semakin melihat adanya semacam konflik antara Megawati dan Jokowi.

Baca Juga: 2.984 Istri Gugat Cerai Suami Sepanjang 2020 di Kota Bekasi

"Jadi orang melihat adanya tarik-menarik di antara kedua kubu ini, baik dalam konteks PDIP maupun konteks negara," tuturnya sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Bang Arief, Selasa, 30 Maret 2021.

Lebih lanjut, Arief Munandar juga mengingatkan bahwa beberapa waktu yang lalu terdapat suara-suara yang ingin mendorong Jokowi untuk kelak menganggantikan Megawati menjadi Ketua Umum PDIP.

"Pada sisi yang lain kita lihat sementara ini orang percaya kecenderungannya bahwa PDIP itu diarahkan Megawati setelah menjadi ketua umum 20 tahun yang lalu untuk menjadi kendaraan politik atau singgasana bagi trah Soekarno," ucapnya.

"Kita juga gak terlalu yakin apakah Megawati bersedia untuk menyerahkan singgasana kepemimpinan tadi kepada orang selain Puan Maharani (putrinya)," sambungnya.

Artinya, kata Arief Munandar, keturunan langsung dari Megawati yang merupakan trah Soekarno.

Hal ini menurutnya menjadi semakin menarik karena kemudian, tarik ulur di antara kedua kubu tersebut sangat terlihat dalam banyak hal.

Baca Juga: Sempat Dijodohkan dengan Pria Turki oleh sang Adik, Cici Paramida: Ada sih, Belum Klik Aja

"Akhirnya orang menafsirkan setiap ada pemilihan pejabat-pejabat penting di lingkaran dalam kekuasaan, tarik ulur tadi antara Megawati dan Jokowi itu terasa betul," tutupnya.

Sebelumnya, Effendi mengungkapkan hal tersebut saat menjawab pertanyaan host Margi Syarif dalam diskusi Polemik Trijaya yang bertajuk “Senjakala Regenerasi Parpol” yang disiarkan daring di kanal Youtube MNC Trijaya, Sabtu, 26 Maret 2021.

"Ya kalau Mbak Puan sudah sangat lama ya dari zaman dia kuliah, sudah puluhan tahun yang lalu, tidak ujug-ujug masuk politik praktis. Akan berbeda dengan Gibran, Gibran nyata, instan, fast growing," kata Effendi.

Namun, Effendi melihat bahwa faktanya masyarakat Indonesia justru meng-amini kondisi Gibran ini dan bahkan tak sedikit yang mengidolakan Gibran.

Jadi menurutnya, antara hal yang lucu maupun tidak lucu ini memang sering terjadi di Indonesia sehingga alam pikirannya menjadi kacau.

"Jadi ya antara lucu dan tidak lucu di Indonesia sering terjadi, akhirnya diidolakan, alam pikir kita kacau jadinya, kayak makan micin kebanyakan, otak jadi migrain. Kebanyakan micin kita," tuturnya.

Menurut Anggota Komisi I DPR ini, alam berpikir masyarakat Indonesia ini seringkali tidak normal.

Dia pun mengumpamakan logika orang bersekolah, seharusnya orang lulus SD masuk SMP, lalu ke SMA dan kuliah, tetapi kadang logikanya di balik dan yang mempertanyakan itu justru ditanya masalahnya di mana.

"Ini enggak, dari SD jadi dosen. Kok kamu bisa jadi dosen? (dijawab) loh kamu kok nanya? Kenapa? Ada yang masalah? Kemudian, karena dosen saya baik, jadi dekan deh, jangan jadi rektor aja. Di republik ini memang terjadi." tutup Effendi.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: YouTube Bang Arief

Tags

Terkini

Terpopuler