ICW: Anggaran Belanja Publik Rawan Dikorupsi, Nilai Kerugian Mencapai Rp 2,1 triliun

19 Februari 2020, 19:05 WIB
Ilustrasi korupsi /pixabay

PIKIRAN RAKYAT - Sepanjang 2019, penindakan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sepanjang 2019 berlawanan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta penyelamatan keuangan negara.

Dikutip oleh pikiranrakyat-bekasi.com dari Antara hal tersebut disampaikan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah dalam konferensi pers ‘Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2019’.

Menurut Wana, Jokowi mengkriti penegak hukum pada Agustus 2019 lalu dengan mengatakan keberhasilan penegak hukum bukan hanya diukur dari jumlah kasus.

Baca Juga: Tekan Defisit BPJS, Sri Mulyani: Perhatikan Tarif, Manfaat, dan Pengumpulan Iuran

“Tapi juga harus diukur dari berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan tapi hal itu tidak dilaukan ole apart,” kata Wana di Kantor ICW Jakarta pada Selasa, 18 Februari 2020 lalu.

Wana menuturkan pada 2019, penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, kepolisian dan KPK mengenakan pidana pencucian uang terhadap 3 kasus korupsi atau sekitar 1,1 persen dari total khusus yang ditangani.

Wana melanjutkan, sedangkan pada tahun 2018 penegak hukum dapat mengenakan pencucian uang terhadap 7 kasus korupsi atau sekira 1,5 persen.

Baca Juga: Wilayahnya Dinilai Unggul dalam Penurunan Kemiskinan, Uu Ruzhanul Ulum: Sinergi Jabar dan Pemerintah Jadi Kunci

“Hal ini menunjukkan ketidakseriusan penegak hukum dalam menerapkan konsep ‘asset recovery’ dalam upaya memiskinkan pelaku korupsi agar menimbulkan efek jera, bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang berencana memprioritaskan ‘asset recove’,” tambahnya.

Wanna mencontohkan dengan kasus yang dikembangkan dan dikenakan pasal pencucian uang yaitu kasus suap pengadaan mesin Rolls-Royce yang melibatkan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar.

Berdasarkan sektor yang dikorupsi, menurut laporan dari ICW belanja publik masih sangat rawan dikorupsi.

Baca Juga: Sinergi BUMD Jabar, Tanam Jahe untuk Diekspor

Menurut Wana, hal itu timbul karena dua kemungkinan. Pertama, karena sektor belanja publik lebih mudah dikorupsi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Penyelenggara Negara (PN).

“Atau kedua, karena orientasi penegak hukum yang lebih fokus pada sektor belanja publik, belum masuk ke sektor penerimaan negara,” terangnya.

Menurut laporan ICW dalam unggahan resminya mengenai Tren Penindakan Kasus Korupsi menyebutkan terdapat 212 kasus terkait belanja publik yang ditangani penegak hukum pada 2019 dengan nilai kerugian negara senilai Rp 2,1 triliun dan nilai suap Rp 154,5 miliar.

Baca Juga: Miliki Benjolan di Kepala, Bayi Perempuan Asal Subang Dilarikan ke RS Al Ihsan

Sedangkan sektor penerimaan seperti pajak ada 11 kasus dengan nilai kerugian negara Rp 42,5 miliar dan nilai suap Rp 5,3 miliar.

Sementara dari jenis anggaran, ada 174 kasus terkait pengadaan dengan nilai kerugian negara Rp 967,3 miliar, dan nilai suap Rp 91,5 miliar.

Sedangkan non pengadaan seperti jual beli jabatan ada 97 kasus dengan nilai kerugian negara Rp 7,4 tirliun dan nilai suap Rp 109,3 miliar.

Baca Juga: Mahfud MD Bantah Omnibus Law Kekang Kebebasan Pers

Dalam catatannya, korupsi pengadaan barang dan jasa secara kuantitas lebih banyak dibandingkan dengan non pengadaan. Meski demikian, dampak kerugian ekonomi yang sangat besar muncul dari aspek non pengadaan.

“Sementara itu, dampak korupsi di sektor pengadaan terletak pada buruknya kualitas barang publik, tidak dapat dimanfaatkannya barang publik, atau jika dipergunakan akan sangat membahayakan masyarakat,” ucap Wana.

Hal itu seperti buruknya kualitas gedung sekolah yang bisa berakibat pada ambruknya gedung sekolah dan mengancam nyawa siswa yang sedang belajar.

Baca Juga: Cuaca Bekasi Hari Ini: Rabu 19 Februari 2020, Berawan Hingga Hujan Ringan

Selanjutnya, korupsi berdasarkan sektor ternyata anggaran desa menduduki perkara paling banyak ditangani sepanjang 2019 yaitu 46 kasus dengan nilai kerugian negara Rp 434,4 miliar dan nilai suap Rp 46,7 miliar.

“Ini menunjukkan belum ada sistem komprehensif dilakukan atau dibuat dalam pengawasan anggaran dana desa, termasuk anggaran desa, alokasi dana desa, dan penerimaan anggaran desa,” pungkasnya.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler