Peran MUI Soal Fatwa Halal Dipangkas, DPR: RUU Ciptaker Jangan Dipaksakan Dibahas

14 Agustus 2020, 11:10 WIB
Ilustrasi sertifikasi halal MUI. /Bekasi.Pikiran-Rakyat.com

PR BEKASI - Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RRU Ciptaker) terus mendapatkan perhatian khusus dari banyak pihak mulai dari masyarakat hingga lembaga negara, termasuk anggota DPR yang ditugaskan untuk membahas RUU tersebut.

Perhatian khusus kali ini datang dari Anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Mulyanto.

Dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari RRI, Jumat 14 Agustus 2020, Anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengungkapkan bahwa RUU Ciptaker dapat memangkas peran Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Baca Juga: Pengumuman SBMPTN 2020 Digelar Jumat 14 Agustus 2020 Pukul 15.00 WIB, Berikut Link Mirror Alternatif 

Adapun maksud RUU Ciptaker bisa memangkas peran MUI, dijelaskan Mulyanto, ketika lembaga yang diketuai oleh Zainut Tauhid Sa'adi itu dalam proses penetapan fatwa halal.

"Persoalan halal-haram merupakan persoalan mendasar dalam ajaran Islam dan soal keyakinan agama bagi kaum Muslim Indonesia. Maka dari itu, pengaturan masalah ini harus cermat dan hati-hati," kata Mulyanto.

Lebih lanjut, kata dia, isu strategis seperti ini perlu dibicarakan lebih lanjut dan secara mendalam dengan melibatkan pihak-pihak terkait agar nantinya tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.

Maka dari itu, Mulyanto meminta agar pembahasan RUU Ciptaker ini tidak dilakukan secara cepat, mengingat saat ini masih masa reses DPR. Ditambah, isi RUU Ciptaker ini sangat sensitif dan berpengaruh luas kepada masyarakat.

Baca Juga: Kasus COVID-19 Semakin Tinggi, Pemprov DKI Jakarta Buka Peluang Perpanjang PSBB Transisi Fase 1 

"Harus dibahas secara tatap muka langsung, tidak dengan melalui saran virtual seperti saat ini," ujar Mulyanto di Jakarta.

Dalam RUU Ciptaker ini, ucap politisi partai PKS ini, sedikitnya terdapat dua isu penting terkait jaminan produk halal yang perlu dicermati oleh masyarakat.

Termasuk, isu tentang siapa yang berwenang menetapkan fatwa halal serta pemberian fatwa halal bagi produk usaha mikro dan kecil berdasarkan 'pernyataan' sepihak.

Diketahui bersama, pasal 49 ayat (4) RUU Omnibus Law Ciptaker mengubah pasal 10 ayat (2) UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang semula ditetapkan oleh MUI menjadi penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.

Baca Juga: Rekayasa Lalu Lintas di Jalan Pangeran Jayakarta Bekasi Dimulai Besok, Perhatikan Jembatan 

Sementara dalam pasal 49 ayat (2), RUU Ciptaker membubuhi pasal-pasal baru, di antaranya (4A) yang memiliki bunyi 'Untuk pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku Usaha Mikro dan Kecil'.

Kemudian, pernyataan Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Bedasarkan beleid ini, maka Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh BPJPH didasarkan pada fatwa tertulis dari MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum. Maka, MUI tidak lagi menjadi otoritas hukum tunggal soal fatwa halal ini.

"Banyaknya otoritas pemberi fatwa halal ini mungkin positif dalam memberi kemudahan pengurusan sertifikat halal, namun beresiko adanya penyalahgunaan wewenang oleh pihak tertentu yang tidak memiliki otoritas mumpuni dalam urusan agama," ujar dia.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler