Sehari Pimpin Kementerian Agama, Gus Yaqut Ingin Afirmasi Hak Beragama Warga Syiah dan Ahmadiyah

- 24 Desember 2020, 21:05 WIB
Menteri Agama Gus Yaqut menyebut pemerintah akan mengafirmasi warga Syiah dan Ahmadiyah.
Menteri Agama Gus Yaqut menyebut pemerintah akan mengafirmasi warga Syiah dan Ahmadiyah. /ANTARA/Anom Prihantoro/ANTARA

PR BEKASI - Sehari setelah resmi dilantik, Menteri Agama Yaqut C. Qoumas atau Gus Yaqut menyoroti berbagai persoalan antarumat beragama.

Salah satu yang disoroti adalah polemik warga yang beragama Syiah dan Ahmadiyah. Karena sejak tahun 1998 dan 2000, keduanya dianggap termasuk dalam aliran sesat atau tidak sesuai ajaran Islam arus utama.

Mengenai kehidupan warga beragama Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia, Gus Yaqut mengatakan pemerintah akan mengafirmasi hak warga dari kedua agama tersebut.

Baca Juga: Natal Terlama hingga Kucing Nakal, Simak Tradisi dan Kepercayaan Unik saat Natal di Beberapa Negara

Gus Yaqut tidak mau ada kelompok beragama minoritas yang terusir dari kampung halamannya karena masalah  perbedaan keyakinan.

"Mereka warga negara yang harus dilindungi," kata Yaqut saat dikonfirmasi ANTARA yang dikutip oleh Pikiranrakyat-Bekasi.com di Jakarta, Kamis 24 Desember 2020.

Gus Yaqut juga menyatakan bahwa Kementerian Agama akan memfasilitasi dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan yang ada.

"Perlu dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan. Kementerian Agama akan memfasilitasi," katanya.

Baca Juga: Gus Yaqut Sebut Agama Tak Boleh Jadi Alat Politik untuk Tantang Pemerintah, Addie MS: Saya Suka

Pernyataan Gus Yaqut tersebut untuk merespons permintaan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra agar pemerintah mengafirmasi urusan minoritas.

Hal ini disampaikan secara daring pada forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa 15 Desember 2020.

"Terutama bagi mereka yang memang sudah tersisih dan kemudian terjadi persekusi, itu perlu afirmasi," kata Azyumardi.

Menurut Azyumardi, afirmasi itu kurang tampak diberikan pemerintah kepada kelompok minoritas. Misalnya, saat pemeluk agama minoritas ingin mendirikan tempat ibadah.

Baca Juga: Sandiaga Uno Pilih 'Merapat' ke Jokowi, Rektor Ibnu Chaldun: Wajar Banyak Emak-emak Marah

Azyumardi mengatakan bahwa para pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di Mataram harus mengalami persekusi oleh kelompok Islam 'berjubah'.

Namun, persoalan intoleran itu, menurut Azyumardi, bukan muncul di kalangan umat Islam saja, melainkan juga dialami oleh pemeluk agama lain di Indonesia.

"Di wilayah yang mayoritas Kristen, itu Katolik susah bikin gereja.Yang mayoritas Katolik, orang Kristen juga susah untuk membangun," kata Azyumardi.

Ia berpendapat bahwa akan sulit bagi kelompok yang memiliki relasi kekuatan (power relation) minim di suatu lokasi bisa mendapat restu mendirikan tempat ibadah tersebut dari kelompok yang memiliki relasi kekuatan yang lebih kuat.

Baca Juga: Dorong Target Penerimaan Pajak, Sri Mulyani Sebut Ada 49 KPP Capai Target hingga Rp1.198.8 Triliun

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mendasarkan pendirian rumah ibadah pada komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa, menjadi sulit dilakukan ketika relasi kekuatan tadi belum merata.

Azyumardi mengatakan bahwa faktor pemekaran daerah yang kurang diperhatikan oleh Pemerintah juga memberikan andil yang menyebabkan permasalahan tersebut.

"Itu saya kira perlu ditata ulang ini, ya. Bagaimana pihak yang berkuasa ini merasa kurang toleran. Jadi, masih perlu saya kira dilakukan afirmasi lah dari tingkat nasional," kata Azyumardi.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah