Soroti 'Drama Politik' AS, SBY: Di Era 'Post Truth Politics', Ucapan Presiden Harus Benar dan Jujur

- 20 Januari 2021, 11:49 WIB
Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti demokrasi Amerika Serikat.
Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti demokrasi Amerika Serikat. /Tangkapan layar YouTube.com/Susilo Bambang Yudhoyono

PR BEKASI - Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti situasi dan kondisi demokrasi di Amerika Serikat (AS) setelah terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS.

SBY mengatakan, bagi para pencinta demokrasi, drama politik di AS saat ini dapat dipetik pelajarannya, salah satunya yaitu mengetahui bahwa sistem demokrasi tidaklah sempurna.

"Sistem demokrasi tidaklah sempurna, terutama implementasinya. Ada wajah baik dan wajah buruk dalam demokrasi. Namun, tidak berarti sistem otoritarian dan oligarki lebih baik," kata SBY, yang dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari cuitan Twitter @SBYudhoyono, Rabu, 20 Januari 2021.

Baca Juga: Dukung Polri di Bawah Kementerian Bukan Presiden, Mardani Ali Sera: Seperti TNI di Bawah Kemenhan

Selain itu, SBY menuturkan, di era "post-truth politics", ucapan pemimpin atau presiden harus benar dan jujur.

"Kalau tidak, dampaknya sangat besar. Ucapan Trump bahwa Pilpresnya curang (suaranya dicuri) timbulkan kemarahan besar pendukungnya. Terjadilah serbuan ke Capitol Hill yang coreng nama baik AS," kata SBY.

SBY juga mengigatkan bahwa "post-truth politics" (politik yang tidak berlandaskan pada fakta), termasuk kebohongan yang sistematis dan berulang, pada akhirnya akan gagal.

Baca Juga: Restui Putrinya Dinikahi Arie Kriting, Ayah Indah Permatasari: Dari Awal yang Bermasalah Cuma Ibu

"Pemimpin akan kehilangan 'trust' dari rakyatnya, karena mereka bisa bedakan mana yang benar (faktual) dengan yang bohong (tidak faktual)," ujar SBY.

SBY mengatakan, dalam setiap Pemilu pasti ada yang menang dan ada yang kalah.

"Meskipun berat dan menyakitkan, siapapun yang kalah wajib terima kekalahan dan ucapkan selamat kepada yang menang. Itulah tradisi politik dan norma demokrasi yang baik," kata SBY.

Baca Juga: Natalius Pigai Pilih Beli Vaksin Puluhan Juta, Ferdinand: Argumen yang Menyinggung Perasaan Rakyat

Namun, SBY menyayangkan karena sikap seperti itu kini tidak terjadi di AS. Pasalnya, SBY menilai, kali ini pergantian kekuasaan yang damai (smooth and peaceful) tak terjadi di AS.

"Transisi kekuasaan dibarengi luka, kebencian, dan permusuhan. Ini petaka bagi AS yang politiknya terbelah (deeply divided). Energi Biden bisa habis untuk satukan AS hadapi tantangan ke depan," kata SBY.

Apalagi menurutnya, jelang pelantikan Joe Biden, Washington DC justru mencekam, lantaran banyak barikade dan dalam pengamanan ketat 25.000 tentara.

Baca Juga: Gugatan Rizal Ramli Ditolak MK, Refly Harun: Demokrasi Kita Masih Dikuasai Para Cukong dan Oligarki

"Siapa ancamannya? Kali ini bukan musuh dari luar seperti biasanya, tapi 'teroris domestik'. Ini titik gelap dalam sejarah AS. Juga warisan buruk yang ditinggalkan Trump," ujar SBY.

Meski demikian, SBY menilai bahwa di setiap krisis selalu ada pahlawannya. Dalam hal ini SBY mengapresiasi sikap Wakil Presiden Mike Pence.

"Saya respek kepada Wapres Mike Pence yang tunjukkan karakter kesatrianya dengan menerima hasil Pilpres yang lalu meskipun kalah. Dia tolak 'perintah' Trump untuk ubah hasil Pemilu karena tak berdasar. Dia hormati konstitusi dan demokrasi," tuturnya.

Baca Juga: Jokowi Tak Menginap di Posko Pengungsi, Andi Arief: Sayang Kalau Berkunjung Seperti Capung Nemplok

SBY pun menilai bahwa Mike Pence bukan tipe yang haus kekuasaan.

"Dia tak memanfaatkan kesempatan untuk ambil alih kepemimpinan meskipun diminta secara resmi oleh DPR AS (sesuai amandemen ke-25 konstitusi AS). Pence menolak, karena bukan itu yang terbaik bagi bangsa AS," kata SBY.***

Editor: Rika Fitrisa


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x