PR BEKASI - Guru Besar Ilmu Politik, Profesor Salim Said, yang pernah juga berkecimpung di dalam dunia film Indonesia mengatakan bahwa kebebasan berkreasi itu baru dimulai setelah masa reformasi.
"Kalau Anda mempelajari film Indonesia, kebebasan berkreasi itu kan baru setelah reformasi," kata Salim Said, sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Kosakata Bersama Ichan Loulembah pada Kamis, 8 April 2021.
Dia melanjutkan, film-film yang dibuat oleh Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan kualitas yang bagus ada setelah reformasi.
Karena pada masa Orde Baru perfilman di Indonesia termasuk yang dikontrol dengan ketat.
"Dan ada Kementerian Direktorat Jenderal khusus yang mengurusi itu dan orangnya tidak mengerti film. Lalu ada di bawahnya Direktur Film, itu orang biasa yang tidak mengerti film dan pegawai pada masa itu cari aman," ujar Salim Said.
Dikatakan olehnya, kalau meloloskan film yang menyinggung pemerintah saat itu maka kedudukan akan terancam, sebab itu tidak ada kebebasan.
Diceritakan Salim Said, dia pernah membuat sebuah film kecil mengenai kampanye danareksa dan di dalamnya ada adegan yang kebetulan bukan diatur oleh timnya.
Ketika itu, mantan Presiden Soeharto datang untuk ikut disorot dalam film tersebut, yang mana kehadirannya hanya untuk menunjukkan kalau dia mendukung danareksa.
Hasil akhirnya pun bagus, tetapi ternyata film tersebut harus disensor dan dipotong.
"Nggak boleh. Karena mereka pikir Pak Harto enggak boleh dipakai untuk kampanye, apa Pak Harto berpikir begitu? saya kira tidak, buktinya dia mau di-shoot bersama Ibu Tien waktu itu, akhirnya dipotong," ucapnya.
Artinya adalah, dijelaskan Salim Said, dalam suatu pemerintahan yang otoriter maka tidak ada orang yang bebas.
Termasuk ketika seseorang itu diberi kekuasaan, orang tersebut akan takut menggunakan kekuasaan tersebut karena adanya risiko.
"Itu adalah, ini sudah politik, mempunyai dampak kepada kehidupan kreativitas," tambahnya.
Sementara itu, terkait dengan sedikitnya film Indonesia yang menampilkan Polisi selayaknya film Hollywood atau Bollywood yang sampai menjadi bulan-bulanan.
"Jadi saya ingat betul cerita almarhum Pak Joyo Kusumo 'itu banyak orang suci di film Indonesia'. Sebab kalau you bikin film mengkritik dokter, ikatan dokter protes," jelasnya.
Dia menambahkan, jika membuat film yang menggambarkan kritik atau segi-segi negatif dari perawat, maka persatuan perawat protes, dan seterusnya.
"Tidak ada film tentang kejelekan tentara, kejelekan Polisi, sebab di badan sensor juga ada wakil mereka," tandas Salim Said.***