Marak Napi Asimilasi Kembali Berulah Pascabebas, Pakar Hukum Beberkan 3 Konsekuensinya

- 2 Mei 2020, 14:40 WIB
Ilustrasi narapidana.
Ilustrasi narapidana. /Dok PRFM.

PIKIRAN RAKYAT - Lebih dari 30.000 napi telah dibebaskan sejak awal April 2020 melalui program asimilasi dan integrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhumkam).

Sel penjara di Indonesia memang kelebihan kapasitas sehingga sebagai upaya meminimalisasi penyebaran virus corona, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk membebaskan para napi.

Sayangnya, hingga pekan ketiga di bulan April, sebagaimana dilaporkan oleh Pikiranrakyat-depok.com, Polri telah mencatat 28 napi program asimilasi yang kembali berulah di masyarakat.

Menurut keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono, kejahatan yang dilakukan para napi asimilasi adalah tindak pidana pencurian dengan pemberatan, pencurian kendaraan bermotor, pencurian dengan kekerasan, dan pelecehan seksual.

Baca Juga: Gempa Bumi Kudus Hari Ini Buktikan Sesar Muria Masih Aktif dan Bisa Picu Goncangan Lagi 

Pakar Hukum Tata Negara, Dr Laode Bariun SH MH mengatakan bahwa kebijakan asimilasi dengan dalih memutus mata rantai virus corona memang cukup dilematis.

Demikian dia menjelaskan bahwa ada tiga konsekuensi yang mengancam narapidana penerima asimilasi atau pembebasan bersyarat yaitu pertama, gugurnya hak asimilasi.

Kedua, adanya sanksi hukuman yang berat, dan ketiga, napi yang bersangkutan tidak mungkin lagi diberikan hak asimilasi.

"Hukuman akan diperberat karena melakukan kejahatan berulang atau kategori residivis. Yang bersangkutan tidak mungkin lagi mendapatkan hak asimilasi. Sangat disayangkan jika ada narapidana penerima asimilasi yang ditangkap karena terlibat aksi kejahatan," kata Laode sebagaimana dilaporkan Antara.

Baca Juga: Banjir Rendam 21.000 Rumah di Kabupaten Bandung Hingga Sabtu 2 Mei 2020 

Namun bagi dia bukan sesuatu yang mengejutkan jika ada narapidana terlibat kejahatan karena pemberian asimilasi pun tidak melalui proses yang matang.

"Sesungguhnya yang paling mengetahui jejak perilaku warga binaan adalah lembaga pemasyarakatan. Maka yang paling kompeten menyatakan si A dan si B layak atau tidak memperoleh asimilasi adalah pihak lembaga pemasyarakatan," ucapnya.

Menurut dia, pemberian asimilasi dengan dalih memutus rantai virus corona terkesan sekadar menggugurkan hukuman narapidana. Sebab esensi hukuman yang dijalani setiap narapidana adalah menanamkan efek jera.

"Bagaimana dengan fakta adanya narapidana penerima asimilasi yang terlibat melakukan kejahatan? Inilah dampak kebijakan (pemberian asimilasi) yang tidak memperhatikan aturan yang mengatur warga binaan di lembaga pemasyatakatan," tutur Laode.

Baca Juga: Perempuan Transgender Membakar Diri, Protes Nasib PSK Saat Lockdown Tekait Pandemi Corona 

"Harus diakui bahwa kebijakan asimilasi narapidana cukup dilematis karena di satu sisi bertujuan memutus rantai penyebaran virus corona tetapi di sisi lain menimbulkan keresahan di tengah masyatakat," ujarnya.

Di Sulawesi Tenggara, kata dia, tidak relevan dalih pemberian asimilasi untuk mencegah penyebaran virus corona, sebab hingga kini tidak ada warga binaan penghuni lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan negara yang positif, ODP, OTG, maupun PDP.

Pembebasan narapidana diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor MHH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x