Jadi Perbincangan Warganet, Kepala Desa Hoho: Saya Sih Santai, Preman atau Bukan Itu Bukan dari Tato

- 13 September 2020, 12:34 WIB
Kepala Desa bertato Purwasaba, Kabupaten Banjarnegara, Welas Yuni Nugroho yang akrab disapa Hoho./RRI/
Kepala Desa bertato Purwasaba, Kabupaten Banjarnegara, Welas Yuni Nugroho yang akrab disapa Hoho./RRI/ /


PR BEKASI - Stigma tato di masyarakat yang identik dengan kekerasan sebetulnya tidak bisa dianggap seratus persen benar.

Sebab jika ditelusuri lebih jauh, penggunaan tato sudah sejak lama menjadi bagian dari seni di beberapa suku di Indonesia. Seperti suku Dayak dan mentawai.

Penggunaan tato dalam adat selain sebagai bentuk kebudayaan dalam bentuk kesenian visual, namun juga sebagai bentuk penanda status sosial.

Baca Juga: Kades Hoho Viral Karena Tato di Tubuhnya, Kemendagri: Pejabat Negara Harus Hindari Simbol Negatif

Baru-baru ini viral sosok Kepala Desa (Kades) Purwasaba, Kabupaten Banjarnegara, Welas Yuni Nugroho yang akrab disapa Hoho karena tubuhnya dipenuhi banyak tato. Fotonya menjadi perbincangan public karena terus dibagikan oleh banyak akun.

Sosoknya menjadi viral, tentu karena stigma pada banyak orang yang bertanya-tanya, bagaimana mungkin bisa seseorang bertato menjadi Kades.

Namun Hoho merasa santai terhadap stigma yang ada di masyarakat, termasuk pandangan orang ramai terhadap dirinya setelah dirinya viral dan dikenal publik.

Baca Juga: Viral! Kades di Banjarnegara Ini Miliki Tato di Seluruh Badannya, Hoho: Ini Adalah Seni

"Mungkin memang ada orang yang tidak suka melihat orang bertato. Saya sih santai saja. Sebenarnya kasar atau tidak kasar, preman atau bukan preman, itu bukan dari tato. Orang nggak pakai tato pun yang kasar ya banyak, orang pakai tato bukan preman, ya banyak," ujar Hoho seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari RRI, Minggu, 13 September 2020.

Haho menjelaskan bahwa ketertarikannya terhadap tato dimulai sejak masih SMP, ketika dirinya kerap menonton film bertema gangster.

"Pas masih kecil pikirannya belum dewasa, apa-apa serba ikut-ikutan. karena sering nonton film gangster juga kan, jadi kayaknya kok keren. Akhirnya saya pasanglah kecil, kalau langsung besar kan sakit dan bikin meriang. Bohong kalau ada orang bilang ditato itu enggak sakit. Terus nambah lagi sampai lama-lama penuh," ujar Hoho.

Baca Juga: Bisa Ungkap Informasi Lebih, Kominfo Imbau Masyarakat Berhati-hati dalam Penggunaan Data Pribadi

Hoho mengatakan ketertarikan kepada tato itu diungkapkan pertama kali dengan memasang tato saat SMA. Ketika itu, Ia memasang tato pada tiga bagian tubuh seperti punggung, dada, dan paha kiri.

"Saat kelas 2 mau naik ke kelas 3 SMA, dulu tatonya kecil soalnya ngumpet-ngumpet takut ketauan orangtua. Pas ketauan saya dimarahin habis-habisan," ujar Hoho.

Awalnya Hoho hanya memasang tato pada bagian tubuhnya yang tidak terlihat. Namun karena sudah tidak ada tempat, akhirnya terakhir tahun 2019, tato dipasang ada di bagian lengan kiri dan kanan.

Baca Juga: Runner’s high, Sensasi Euforia Saat Berlari Mirip Kasus Kecanduan Obat Terlarang

Meskin penuh tato, Hoho mengatakan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap dirinya tidak ada pengaruh. Hal itu dibuktikan dengan bisa terpilihnya Hoho menjadi Kepala Desa Purwasaba.

"Boleh dikatakan kemenangan saya itu mutlak. Saya dapat sampai 50 persen suara, 50 persen sisanya itu dua calon lainnya dibagi dua," jelas Hoho.

Diketahui terpilihnya Hoho juga karena sebagian masyarakat yang tidak terlalu peduli soal penampilan, menurut masyarakat di sana, yang paling penting adalah komitmen dan hasil kerja yang dilakukan.

Baca Juga: Selain Kopi Luwak, Kini Ada Varian Baru Kopi dan Teh dari Kotoran Gajah, Berani Coba?

Hal tersebut terbukti dengan pendapat masyarakat desa terhadap Hoho sebagai Kepala Desa yang memiliki tato.

Salah seorang Warga Purwasaba, Sutarno yang lebih mementingkan komitmen kades untuk memakmurkan dan mensejahterakan warganya.

"Biasa saja lah. Masalah tato itu kan luas bukan hanya pak Kades yang pasang. Yang penting desanya aman dan maju. Kalau pertemuan juga ramah dan memperhatikan masyarakat," ujarnya.

Baca Juga: Dirampok dan Diperkosa Ramai-rama di Depan Ketiga Anaknya, Publik Marah Usai Polisi Salahkan Korban

Sementara itu, warga desa lain seperti Rosiyah mengungkapkan hal yang serupa.

"Nggak papa, yang penting kan mau memajukan dan membangun desa," ungkapnya.

Seorang nenek di Desa Purwasaba, Suliati juga mengatakan hal yang senada. Menurutnya kepribadian seseorang tidak dapat hanya dinilai dari bertato atau tidak.

"Buat mbah mboten napa-napa (Buat nenek tidak apa-apa), sae kok (bagus kok). Kan itu untuk kesehatan," ujarnya sambil tertawa.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x