Utang ke Tiongkok Capai Rp249 Triliun, Ahli Ekonomi Khawatirkan Nasib Indonesia Seperti Sri Lanka

29 November 2020, 08:46 WIB
Presiden Jokowi (kiri) bersama Presiden RRT Xi Jinping (kanan) merayakan hubungan 70 tahun bilateral. /Instagram @jokowi

PR BEKASI – Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia bergantung dengan banyak investasi dari negara Tiongkok. 

Pinjaman Indonesia kepada Tiongkok pun naik cukup signifikan. Selain itu, Indonesia mulai meningkatkan penggunaan mata uang Tiongkok, Yuan, dalam transaksi luar negerinya.

Menurut pengamat, kedua hal tersebut menghadirkan risiko yang perlu diantisipasi Indonesia agar tidak mengalami kasus seperti Sri Lanka yang harus kehilangan mayoritas sahamnya di sebuah proyek pelabuhan karena gagal membayar utang kepada Tiongkok.

Dikutip.oleh PikiranrakyatBekasi.com dari theconversation.com, upaya membatasi ketergantungan terhadap Tiongkok penting juga untuk menjaga posisi tawar Indonesia dalam mengamankan wilayah di sekitar perairan Laut Natuna yang selalu diklaim sebagai milik negeri tirai bambu tersebut.

Baca Juga: Adik Prabowo Subianto Sebut Kemenhan 'Lahan Basah' Dibanding KKP, DPR: Wah, Enggak Benur Itu Pak

Perkembangan hubungan bilateral antara Indonesia dan Tiongkok

Selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Tiongkok telah menjadi salah satu investor terbesar Indonesia. Ini terlihat dari gencarnya pendanaan proyek-proyek infrastruktur berskala besar yang digalakkan oleh Tiongkok di Indonesia sebagai bagian dari program Belt and Road Initiatives (BRI).

Pada peringatan 70 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Tiongkok yang jatuh pada tahun ini, kedua negara telah sepakat untuk saling memperluas ikatan yang terjalin tidak hanya di bidang investasi dan perdagangan, tapi juga di bidang budaya. Bahkan, kerja sama Tiongkok dan Indonesia juga merambah ke sektor kesehatan.

Negeri tirai bambu itu telah berjanji untuk meningkatkan kerja sama dengan Indonesia dalam memerangi COVID-19, termasuk mendukung rencana untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi vaksin buatan Tiongkok.

Peran Tiongkok yang semakin kuat dalam perekonomian Indonesia membuat beberapa pengamat percaya bahwa Indonesia semakin bergantung pada Negeri Tirai Bambu tersebut.

Baca Juga: PM Denmark Menangis di Hadapan Peternak, Ternyata Kebijakan Pemusnahan Jutaan Cerpelai Ilegal

Implikasi ekonomi

Perlu digarisbawahi bahwa nilai utang Indonesia kepada Tiongkok telah mencapai besaran yang cukup mengkhawatirkan, yaitu 17,75 miliar dolar AS atau setara Rp249 triun pada 2019 atau meningkat 11 persen dibandingkan pada 2017.

Jumlah utang tersebut diperkirakan akan semakin menggelembung seiring dengan masuknya proyek-proyek BRI yang sudah ditandatangani. 

Hal ini membuat banyak ahli khawatir karena akan meningkatkan risiko Indonesia gagal bayar, seperti yang terjadi pada Sri Lanka.

Proyek-proyek pembangunan infrastruktur lain yang didanai oleh Tiongkok di Sri Lanka, kini terjebak dalam utang dengan besaran yang fantastis yakni 8 miliar dolar atau setara Rp112 triliun.

Baca Juga: Anda Sering Bawa Ponsel ke Kamar Mandi? Waspadai Bahaya Wasir yang Bisa Berdampak Serius

Karena utang yang demikian besar itu, pemerintah Sri Lanka terpaksa menyerahkan sebagian besar saham  pelabuhan tersebut kepada Tiongkok. Pada akhirnya, Tiongkok sekarang memegang 70 persen saham di Pelabuhan Hambantota, Sri Lanka.

Pengalaman Sri Lanka ini memunculkan spekulasi bahwa Tiongkok sengaja merencanakan “diplomasi perangkap utang” melalui pembebanan kredit yang berlebihan dengan dugaan berniat untuk mengeksploitasi ekonomi dari negara pengutang.

Persyaratan pinjaman dari Tiongkok untuk proyek BRI juga menjadi pertanyaan bagi para ahli ekonomi.

Pasalnya, pencairan pinjaman untuk setiap proyek BRI mewajibkan negara mitra untuk membeli 70 persen bahan baku dan mempekerjakan para pekerja Tiongkok. 

Baca Juga: Bahaya, Ribuan Warga Inggris Dikabarkan Salah Didiagnosis Hingga Dinyatakan Positif Covid-19

Kebijakan yang lebih memihak pada investor negara tersebut ini tentunya akan semakin memberatkan pelaku industri lokal.

Selain itu, perjanjian antara kedua negara yang mendorong penggunaan mata uang Tiongkok dan Indonesia dalam transaksi luar negeri juga akan mendatangkan risiko besar bagi Indonesia.

Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia juga sudah memperingatkan dampak negatif terhadap semakin bergantungnya Indonesia terhadap Tiongkok. 

Dia mengatakan bahwa penurunan 1 persen dalam pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan turut membawa penurunan sebesar 0,3 persen bagi Indonesia.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: The Conversation

Tags

Terkini

Terpopuler