Bunga Utang Indonesia Rp373 Triliun per Tahun, Ekonom: Perilaku Koruptif Bikin Beban Utang Semakin Berat

26 Juni 2021, 16:50 WIB
Mempersempit ruang perilaku koruptif yang bisa merugikan penerimaan pajak. /PIXABAY/

PR BEKASI - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan lima kunci menyiasati utang Indonesia.

Utang Indonesia yang saat ini menjadi sorotan karena naik signifikan di tengah pandemi Covid-19 telah memunculkan kekhawatiran.

Dia mengatakan bahwa Indonesia memiliki beban utang berat dengan bunga Rp373 triliun per tahun.

Baca Juga: Denny Caknan Akui Pernah Dililit Utang Rp120 Juta dan Terjerumus ke Dunia Judi Online

Melihat hal tersebut, Bhima mengatakan poin pertama yang harus dilakukan untuk mengendalikan utang Indonesia yakni dengan melakukan negosiasi utang.

"Mitigasi utang agar tidak bertambah yaitu dengan melakukan negosisasi utang dengan segera, itu yang pertama," katanya, sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Bekasi.com dari Antara pada Sabtu, 26 Juni 2021.

Kedua, penerimaan pajak perlu diperhatikan. Rasio pajak harus dinaikan salah satunya berupa kepatuhan bayar pajak.

Baca Juga: Viral Video Pria Ngaku Ibu Atta Halilintar Utang Rp400 Juta, Perekam: Tolong Dibayar!

Kemudian yang ketiga adalah soal insentif pajak. Menurutnya, insentif pajak di beberapa sektor yang sudah distimulus, tapi belum efektif harus disetop.

Keempat yakni mempersempit ruang perilaku koruptif dalam penegakan aturan perpajakan.

"Perilaku koruptif juga merugikan penerimaan pajak yang ujungnya beban antara penambahan utang dengan kewajiban pembayaran utangnya menjadi semakin berat," katanya.

Baca Juga: Kemenag Siap Bayar Utang Tukin Guru dan Dosen, Ini Rinciannya

Kelima yaitu pemerintah dapat melakukan penghematan secara lebih ketat terhadap belanja-belanja yang bersifat birokratis seperti belanja pegawai dan belanja barang.

"Belanja yang tidak urgent seperti perjalanan dinas bisa dipangkas karena ruang fiskal itu juga harus dijaga agar masih tetap bisa melakukan belanja-belanja lain yang lebih urgent," ujarnya.

Bhima menjelaskan permasalahan dalam pengelolaan utang selama ini bukan mengenai penambahan jumlahnya melainkan terkait produktivitas dari utang itu untuk menghasilkan valuta asing (valas) yang lebih besar.

Baca Juga: RI Utang Rp24,6 Triliun dari Bank Dunia dalam Sepekan, Sherly Annavita: Semoga Jauh dari Tangan Koruptor

"Apalagi, utangnya diterbitkan dalam bentuk utang luar negeri maka utang luar negeri harus dibayar dengan dolar dengan valas," katanya.

Oleh sebab itu, ia mengatakan seharusnya pemerintah lebih bisa mendorong sektor-sektor penghasil valas seperti ekspor dan devisa dari tenaga kerja.

"Itu yang seharusnya didorong sekarang. Jadi, selama ini, itu yang menjadi masalah." katanya.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler