Pertamina Nyaris Bangkrut karena Punya Utang Rp10 Miliar Hari ini, 15 November 1978

15 November 2020, 21:43 WIB
Ilustrasi proyek strategis Pertamina. /*/Pixabay/

PR BEKASI - Pandemi COVID-19 menyebabkan perekonomian di berbagai negara tidak stabil, bahkan ada beberapa negara yang dinyatakan masuk ke jurang resesi ekonomi.

Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mengalami permasalahan di sektor ekonomi akibat dari pandemi COVID-19.

Namun, masalahan perekonomian yang dihadapi oleh Indonesia ternyata bukan kali ini saja.

Diketahui Indonesia sempat mengalami rentetan devaluasi yang hingga melemahkan sistem perekonomian.

Baca Juga: Ade Londok Jadi Sering Melamun Hingga Merasa Ditinggalkan Semua Orang, Sule: Anggaplah Ini Ujian 

Devaluasi mata uang merupakan suatu tindakan penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing lainnya.

Tindakan ini dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap.

Devaluasi biasanya dilakukan apabila rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain.

Artinya, nilai mata uang tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negara yang bersangkutan.

Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan inflasi kedua negara.

Baca Juga: Ade Londok Jadi Sering Melamun Hingga Merasa Ditinggalkan Semua Orang, Sule: Anggaplah Ini Ujian 

Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai.

Namun, dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku secara otomatis. Karena, penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan pemerintah.

Diketahui bahwa tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara lain yakni ekspor yang terus menurun dan industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja.

15 November 1978

Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Ali Wardhana.

Walaupun Indonesia mendapat rezeki kenaikan harga minyak akibat Perang Arab - Israel 1973, tetapi Pertamina justru nyaris bangkrut dengan utang Rp10 miliar dolar AS dan Ibnu Sutowo dipecat pada 1976.

Hal tersebut tetap tidak bisa dihindari devaluasi kedua oleh Soeharto pada 15 November 1978 dari Rp. 415 menjadi Rp. 625 per 1 dolar AS

Baca Juga: Banyak Dokter Gugur, IDI Sampaikan Pesan Penting kepada Masyarakat 

20 Maret 1950

Pemerintahan Presiden Soekarno, melalui Menkeu Syafrudin Prawiranegara (Masyumi, Kabinet Hatta RIS) pada 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan penggutingan uang. Syafrudin Prawiranegara menggunting uang kertas bernilai Rp5 ke atas sehingga nilainya berkurang separuh. Tindakan ini dikenal sebagai "Gunting Syafrudin".

24 Agustus 1959

Pemerintahan Presiden Soekarno melalui Menteri Keuangan yang dirangkap oleh Menteri Pertama Djuanda menurunkan nilai mata uang Rp1.000 yang bergambar gajah dan Rp500 yang bergambar macan, diturunkan nilainya hanya jadi Rp100 dan Rp50.

Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap semua simpanan di bank-bank yang melebihi jumlah Rp25.000.

Tujuan kebijakan devaluasi tersebut yakni meningkatkan nilai rupiah dan rakyat kecil tidak dirugikan.

Namun, kebijakan pemerintah ini ternyata tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi secara keseluruhan.

Baca Juga: Banyak Dokter Gugur, IDI Sampaikan Pesan Penting kepada Masyarakat 

Devaluasi 1966

Imbas dari tindakan embargo yang dilancarkan oleh sekutu Kapitalis dan Imperialis terhadap Indonesia karena berani menentang pembentukan negara boneka di kawasan Asia Tenggara oleh Inggris dan AS, Waperdam III Chairul Saleh terjeblos dalam tindakan ekstrem, mengganti uang lama dengan uang baru dengan kurs Rp1.000 akan diganti Rp1 baru.

Akibat dari kejadian itu, inflasi tak terkendali dan segera melonjak 650%. Bung Karno dipaksa untuk mengeluarkan Supersemar 11 Maret 1966.

Hal tersebut semakin mengukuhkan pemberontakan Soeharto sejak menolak dipanggil ke Halim oleh Panglima Tertinggi pada 1 Oktober 1965 lalu.

Baca Juga: Ceritakan Kondisi Terkini Ade Londok Usai Dihujat Warganet, Sule: Kini Kurus dan Sering Melamun 

21 Agustus 1971

Terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru) melalui Menkeu Ali Wardhana.

Pada 15 Agustus 197, AS harus menghentikan pertukaran dolar dengan emas.

Presiden Nixon cemas dengan terkurasnya cadangan emas AS jika dollar dibolehkan terus ditukar emas, ketika 1 troy onz emas=34.00 dolar AS.

Maka untuk menjaga cadangan emas AS, pemerintah AS menghapuskan sistem penilaian dolar yang dikaitkan dengan emas.

Soeharto yang sangat tergantung dengan AS mati kutu dan tidak bisa mengelak dari dampak gebrakan Nixon dan Indonesia mendevaluasi Rupiah pada 21 Agustus 1971 dari Rp378 menjadi Rp415 per 1 dolar AS.

Kemudian, setelah peristiwa devaluasi pada 15 November 1978 berlangsung, rentetan devaluasi masih harus dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Baca Juga: Soroti Polemik 'Tukang Obat', Habib Luthfi: Jangan Heran Ada Keturunan Nabi yang Berakhlak Tak Baik 

30 Maret 1983

Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Radius Prawiro pada saat itu Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48% jadi hampir sama dengan menggunting nilai separuh.

Diketahui bahwa nilai kurs 1 dolar AS naik dari Rp702,50 menjadi Rp970.

12 September 1986

Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Radius Prawiro, pada 12 September 1986 Radius Prawiro kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47%, dari Rp1.134 ke Rp1.664 per 1 dolar AS.

Walaupun Soeharto selalu berpidato soal tidak ada devaluasi, tapi sepanjang pemerintahannya telah terjadi empat kali devaluasi.***

Editor: M Bayu Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler