Fenomena Fatherless di Indonesia Urutan 3 Di Dunia, Kehadiran Ayah Diperlukan Anak

31 Maret 2021, 12:58 WIB
Ilustrasi anak yang sedang bermain dengan ayah mereka./PEXELS/Tatiana Syrikova /

PR BEKASI - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebut fenomena kurangnya kehadiran sosok Ayah bagi anak atau fatherless, baik secara fisik maupun psikologis di Indonesia ternyata cukup tinggi.

"Fatherless diartikan sebagai anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai ayah tapi ayahnya tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak dengan kata lain pengasuhan," kata Retno Listyarti seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Rabu, 31 Maret 2021.

Menurut Reno fenomena ini ditampakkan melalui anak yang tumbuh dewasa tanpa ada peran ayah dalam tumbuh kembang anak yang dipengaruhi berbagai faktor dan kondisi.

Sejauh ini Indonesia merupakan negara yang berada di urutan ketiga di dunia sebagai negara tanpa kehadiran ayah (fatherless country).

Baca Juga: Kebijakan Sekolah Tatap Buka Diserahkan ke Pemda, Luqman Hakim Pertanyakan Tupoksi Nadiem sebagai Mendikbud

Baca Juga: Habib Nabiel: Kalau Kita Pahami bahwa Seluruh Agama Tidak Ada yang Benarkan Terorisme

Baca Juga: Mengaku Siap Nyapres di 2024, Ridwan Kamil: Pilpres Itu seperti Kompetisi Badminton

Menurut Retno, salah satu yang menyebabkan terjadinya krisis anak mendapatkan pengasuhan terbaik karena dipengaruhi peran gender dalam masyarakat tradisional yang masih terbawa hingga kini.

Alasan ayah yang sibuk bekerja mencari nafkah membuat tidak ada waktu banyak dan sudah terlalu lelah untuk meluangkan waktu ketika di rumah atau pekerjaan yang kerap bepergian ke luar kota, seringkali menggerus peran seorang ayah bagi seorang anak.

Konsep lama membagi tugas seperti ayah bertugas mencari nafkah dan ibu bertugas dalam urusan domestik atau rumah, termasuk mengasuh anak menjadi kondisi yang banyak dialami oleh anak di Indonesia yang kehilangan peran ayah dalam kehidupannya.

"Reduksi peran gender tradisional memposisikan ibu sebagai penanggung jawab urusan domestik dan ayah sebagai penanggung jawab urusan nafkah masih melekat di masyarakat. Padahal, tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh kehadiran dari kedua orang tuanya dalam pengasuhan," kata Retno Listyarti.

Dampak fatherless ini cukup merugikan, beberapa yang dikhawatirkan adalah anak menjadi kurang percaya diri, menarik diri dari kehidupan sosial, rentan terlibat konsumsi NAPZA hingga tindak kekerasan.

Baca Juga: Pemuda di China dapat Cuan Atas Jasanya Ingatkan Orang Agar Tidak Menunda Pekerjaan

Hal lainnya bisa saja membuat kondisi mental anak menjadi terganggu, memunculkan depresi dan berpengaruh terhadap apa yang dijalaninya, baik akademik maupun masa depannya.

Karena itu penting sekali para ayah atau ibu untuk memastikan bahwa usia emas anak yaitu 7-14 tahun dan 8-15 tahun mendapatkan peran ayah secara maksimal. Karena ini dapat berpengaruh pada urusan prestasi akademiknya.

Sebab jika mengalami fatherless anak akan sulit konsentrasi, hingga kekurangan motivasi dalam belajar.

Peran ayah tidak bisa diabaikan, ayah perlu memberikan pendampingan dan pengajaran, termasuk kebutuhan akan cinta atau kasih sayang, juga memberi contoh perbuatan baik untuk ditiru anaknya.

Ayah perlu memberikan waktu luang untuk bermain, mengajar, berkomunikasi, hingga mendengar kisah atau ucapan anak-anak mereka, juga memberikan peluk, cium hingga pelukan.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler