PR BEKASI – Idealnya waktu tidur bagi manusia yaitu kisaran enam hingga delapan jam dengan menyertakan waktu tidur siang sebentar. Tidur merupakan bagian terpenting juga untuk manusia.
Karena dengan tidur, setidaknya aktivitas dari tubuh manusia yang sebelumnya telah dilakukan itu bisa diistirahatkan sejenak.
Dengan tidur yang cukup, tentunya aktivitas manusia di kesehariannya akan berjalan dengan maksimal.
Mengenai aturan tidur itu pun sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 23:
وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan,”
Baca Juga: PLN Umumkan Jadwal Pemadaman Listrik Sementara di Bekasi Hari Ini, Selasa, 13 April 2021
Meskipun begitu, tahukah Anda bahwa ada waktu-waktu tidur yang tidak dianjurkan bagi seseorang untuk tidur dalam islam?
Tidak dianjurkannya waktu-waktu berikut tentunya mempunyai sebab dan akibat yang juga akan berdampak kepada aktivitas manusianya itu sendiri.
1. Tidur setelah salat subuh sampai terbitnya matahari
Tidur di waktu ini dipandang akan menjadikan orang yang melakukannya terhalangi mendapatkan berkahnya rezeki dan umur. Sebab waktu-waktu tersebut merupakan waktu diturunkannya keberkahan rezeki pada seseorang.
Baca Juga: 7 Tips Agar Imun Tubuh Tetap Kuat Saat Berpuasa di Tengah Pandemi Covid-19, Salah Satunya Olahraga
Hal ini seperti dijelaskan oleh Habib Zain bin Smith:
النوم بعد الصبح يذهب بركة الرزق والعمر لأن بركة هذه الأمة فى البكور وهو بعد صلاة الفجر إلى طلوع الشمس.
“Tidur setelah subuh menghilangkan berkah rezeki dan berkah umur, sebab berkahnya umat ini ada di waktu pagi, yakni waktu setelah shalat subuh sampai terbitnya matahari” (Habib Zain bin Smith, Fawaid al-Mukhtarah, Hal. 590).
2. Tidur setelah masuk waktu ashar
Tidur pada waktu ini berisiko mengurangi daya aktif akal pelakunya. Dalam salah satu hadis dijelaskan:
مَنْ نَامَ بَعْدَ الْعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ
“Barang siapa tidur setelah waktu Ashar, lalu hilang akalnya, maka jangan pernah salahkan kecuali pada dirinya sendiri” (HR Ad-Dailami).
Meski para ulama menghukumi hadis di atas sebagai hadis dlaif namun hadis di atas masih relevan dalam konteks fadla’il al-a’mal (perbuatan keutamaan).
3. Waktu tidur yang tidak dianjurkan ketiga, adalah tidur sebelum melaksanakan salat isya’
Dalam salah satu hadis shahih dijelaskan:
كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ العِشَاءِ وَالحَدِيثَ بَعْدَهَا البخاري
“Sesungguhnya Rasululullah tidak senang tidur sebelum salat Isya’ dan berbincang-bincang setelah salat Isya'” (HR al-Bukhari).
Sebab dimakruhkannya tidur sebelum melaksanakan salat isya’ adalah dikarenakan khawatir akan habisnya waktu isya’ karena tidur terlalu lelap, seperti halnya kebiasaan kebanyakan orang yang tidur di malam hari namun belum melaksanakan salat isya’.
Sedangkan, waktu tidur yang dianjurkan oleh syara’ adalah tidur di waktu qailulah. Dalam hadis dijelaskan:
قِيلُوا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَقِيلُ
“Tidurlah qailulah (siang hari) kalian, sesungguhnya Syetan tidak tidur di waktu qailulah” (HR ath-Thabrani).
Waktu qailulah ini ada yang menafsirkan tidur sebelum waktu zuhur (tergelincirnya matahari), ada pula yang menafsirkan setelah masuk waktu zuhur.
Selain itu, syara’ menganjurkan agar seseorang menjadikan waktu malam sebagai waktu untuk tidur dan istirahat, sedangkan waktu siang untuk bekerja dan beraktivitas.
Sebab pola demikianlah yang dipandang ideal dan sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an:
Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 13 April 2021: Sempat Curiga, Akhirnya Andin Tahu Anaknya Masih Hidup?
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِباساً وَجَعَلْنَا النَّهارَ مَعاشاً
“Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian (waktu tidur), dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan” (QS An-Naba’, Ayat: 10-11)
Ketentuan demikian merupakan tuntunan yang diajarkan oleh syara’ bagi orang yang memungkinkan untuk melaksanakannya.***