Sudah Ada Sejak Zaman Nabi, Bubur Asyura sebagai Makanan Wajib Bulan Muharram

30 Agustus 2020, 09:30 WIB
Bubur Asyura yang enak disajikan di atas alas daun pisang. /Phinemo.com/

PR BEKASI – Budaya Indonesia sangat beragam, termasuk kulinernya yang memilili cita rasa berbeda-beda. Salah satu tradisi kuliner yang dimiliki Indonesia adalah Bubur Asyura.

Beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi memasak Bubur Asyura secara bergotong-royong pada saat 10 Muharram untuk berbuka puasa. Pria dan wanita biasanya ikut serta dalam tradisi ini.

Mereka bergotong-royong dalam hal penyediaan bahan baku dan memasak. Biasanya dinikmati bersamaan  setelah membaca doa Asyura dan tolak bala.

Baca Juga: Dukung Pembelajaran Jarak Jauh, Sponsor Chelsea '3' Beri Kuota 30GB bagi Guru dan Murid

“Doa Asyura dan tolak bala itu agar kita terhindar atau selamat dari segala bentuk atau macam bala bencana,” ucap Ustaz Hasan Basri sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

Berbagai cerita banyak tersebar berkaitan dengan sejarah Bubur Asyura.

Kisah pertama mengatakan bahwa Bubur Asyura awal mulanya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, yakni pada peristiwa Perang Badar.

Jumlah prajurit pada Perang Badar semakin banyak saat itu, kemudian ada seorang sahabat Rasul yang memasak bubur untuk prajurit, namun ternyata porsi yang dimasak tidak sebanding dengan jumlah prajurit yang banyak.

Baca Juga: Amazon Halo, Gelang Pendeteksi Kesehatan dan Kebahagiaan Penggunanya

Akhirnya Rasulullah SAW meminta para sahabat untuk mengumpulkan makanan apa saja dan dicampurkan dengan bubur tersebut sehingga bisa memenuhi kebutuhan.

Kisah lain menyatakan bahwa Bubur Asyura sudah ada sejak zaman Nabi Nuh AS. Saat Nabi Nuh turun dari kapalnya setelah diterpa banjir bandang selama berbulan-bulan.

Nabi Nuh memerintahkan umatnya untuk mengumpulkan bahan makanan yang tersisa dalam kapal dan mencampurkannya menjadi satu dan diaduk hingga menyerupai bubur.

Bubur inilah yang disajikan untuk umat Nabi Nuh yang selamat dari banjir bandang agar bisa bertahan hidup.

Baca Juga: Nike Segera Rilis Sepatu 'Doraemon' dalam Jumlah Terbatas

Beberapa kisah tersebut yang kemudian menjadi kisah awal mula Bubur Asyura, mengingat peristiwa-peristiwa itu terjadi di Bulan Muharram, khususnya hari Asyura.

Masyarakat Kota Banjarmasin juga menjadi salah satu wilayah yang menjadikan Bubur Asyura ini sebagai tradisi untuk memperingati Bulan Muharram. Mereka juga kerap menyuguhkan bubur ini untuk kaum yatim dan dhuafa.

Warga masyarakat akan mengumpulkan bahan pembuatan bubur dengan cara patungan.

Selain di Kalimantan, Desa Penyengat, Riau juga menjadi salah satu yang menerapkan tradisi ini. Biasanya sebelum memakan bubur, warga Desa Penyengat akan melakukan pawai mengenakan pakaian Melayu.

Baca Juga: Ribuan Warga Demonstran 'Anti-Corona' Kembali Banjiri Kota Berlin Jerman Tolak Lockdown

Wanita memakai baju kurung Melayu atau ada juga yang menggunakan kebaya labuh (panjang) dan satu stel dengan kerudung dan jilbabnya.

Sedangkan Pria menggunakan baju Kurung Melayu Teluk Belanga, Cekak Musang atau Baju Koko serta menggunakan kain songket yang dililitkan di pinggang.

Selain itu, tradisi Bubur Asyura ini menjadi ajang silaturahmi bagi warga masyarakat karena mereka membuatnya secara bersama, dibuat dalam porsi yang besar, melakukan doa bersama, dan memakannya bersama-sama.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler